-->

Perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia akan Diberikan dengan Enam Syarat

JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, menegaskan pemerintah akan berhati-hati dalam memutuskan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Soalnya, tahun 2021 mendatang kontrak tersebut akan berakhir dan perusahaan raksasa asal Amerika Serikat itu berkeinginan memperpanjangnya.

Tahun 2012 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan keputusan Presiden No. 3 Tahun 2013 yang mendesak agar Freeport melakukan penyesuaian kontrak karya (KK). “Keinginan Freeport memperpanjang konrak karyanya harus disikapi dengan hati-hati tidak boleh gegabah. Semua keputusan harus mempertimbangkan berbagai hal dan tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya di Jakarta, Senin (03/03/2014).

Wacik mengungkapkan, kementeriannya saat ini tidak bisa memutuskan perpanjangan KK tersebut secara terburu-buru. Ia realistis masa kerjanya terhitung tinggal delapan bulan lagi, sehingga tidak bisa memutuskan secara cepat. Dengan demikian, menurutnya, pemerintahan baru pada periode mendatang akan membahas hal itu secara intensif.

“Nanti kalau buru-buru diputusin disangka ada apa-apa, sekarang kita kerjakan yang bisa kita kerjakan,” ujarnya.

PT Freeport Indonesia, sudah beroperasi di Indonesia sejak 1967 dengan penandatangan Kontrak Karya Generasi I pada 7 April 1967. Perpanjangan kontrak menjadi KK Generasi V, telah ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 untuk jangka waktu 30 tahun hingga 2021. Saat ini, kegiatan produksi PT FI berada di wilayah tambang terbuka Grasberg, tambang bawah tanah DOZ dan Big Gossan di Kabupaten Mimika.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, R. Sukhyar mengatakan, perpanjangan KK Freeport akan diberikan dengan enam syarat. Keenam syarat tersebut menyangkut kinerja perusahaan, kewajiban, smelter, dan royalti. "Enam unsur itu yang kita lihat," ujar Sukhyar.

Akan Dipenuhi

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Rozik Sotjipto mengatakan, pihaknya telah melakukan pembicaraan intensif dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa dan Menterian Energi Sumber Daya Mineral Jero Wacik pasca diterbitkannya Keppres Nomor 3 Tahun 2013.

"Sejak terbitnya Keppres No. 3 Tahun 2012 mengenai evaluasi kontrak karya, kami melakukan pembicaraan baik dengan Menko Perekonomian maupun Menteri ESDM," ujarnya.

Rozik membenarkan ada enam hal yang telah dibicarakan antara pemerintah dan perusahaan dalam renegosiasi kontrak.

Pertama, mengenai penyempitan 40% luas wilayah untuk penunjang kegiatan pendukung menampung sisa operasi, menjadi 127 ribu hektare.

Kedua, kesepakatan kewajiban keuangan PPH badan lebih tinggi 10% menjadi sebesar 35%.

Ketiga, Freport bersedia meningkatkan royalti sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2012.

Keempat, Freeport bekerjasama dengan Kementerian Prindustrian untuk membentuk satuan tugas dalam meningkatkan kandungan lokal pertambangan  di Papua.

Kelima, kepemilikan saham pemerintah pusat naik akan menjadi 20% selambat-lambatnya pada 2021.

Keenam, Freeport melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri.

"Dengan adanya kebijakan hilirisasi, kami berkewajiban pengolahan seluruh produk konstrat kami. Saat ini kami bekerjasama dengan Aneka Tambang terkait pembangunan smeter. Ada pihak ketiga Nusantara Smelt dan Indosmelt yang nantinya dipasok hasil produk kami," ungkap Rozik.

Sebelumnya, KPK mengingatkan ESDM terkait kontrak pertambangan. KPK telah melakukan kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batubara (minerba) dan telah dipaparkan pada Kementerian ESDM dan pihak terkait pada Agustus 2013. Hasil kajian KPK menyatakan, ada celah terjadinya kerugian negara yang disebabkan tidak optimalnya pungutan royalti dari 37 Kontrak Karya (KK) dan 74 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Humas KPK Johan Budi SP mengatakan, salah satu temuan KPK terkait jenis tarif PNBP yang berlaku terhadap mineral dan batubara yang berlaku pada KK lebih rendah dibandingkan tarif yang berlaku pada IUP mineral. Dari temuan ini, kata Johan, Kementerian ESDM telah menyepakati akan melakukan renegosiasi tentang tarif royalti pada semua KK dan PKP2B disesuaikan dengan PP Tarif dan jenis tarif PNBP yang berlaku.

“Serta menetapkan sanksi bagi KK dan PKP2B yang tidak kooperatif dalam proses renegosiasi,” kata Johan dalam siaran pers yang dikutip hukumonline, Senin (03/03/2014).

Johan melanjutkan, terkait hal ini, KPK telah mengirimkan surat bernomor B-402/01-15/02/2014 yang ditujukan kepada Menteri ESDM. Surat ini ditembuskan kepada presiden, dikirim pada 21 Februari 2014, agar pihak terkait segera menindaklanjuti. Proses renegosasi mencakup aspek luas wilayah pertambangan, penggunaan tenaga kerja dalam negeri, divestasi serta kewajiaban pengolahan dan pemurnian hasil tambang dalam negeri. KPK melihat proses renegosiasi kontrak ini berlarut-larut.

Padahal, lanjut Johan, dalam pasal 169 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah dinyatakan dengan tegas bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU No. 4 Tahun 2009 diundangkan. “Artinya, renegosiasi kontrak semestinya sudah selesai tanggal 12 Januari 2010,” tuturnya.

Dia menambahkan, berlarut-larutnya proses renegosiasi mengakibatkan tidak terpungutnya penerimaan negara dan merugikan keuangan negara. KPK memperkirakan, selisih penerimaan negara dari satu perusahaan besar (KK) saja sebesar US$ 169,06 juta per tahun.

Johan mencontohkan, PT. FI sejak tahun 1967 sampai dengan sekarang menikmati tarif royalti emas sebesar 1 persen dari harga jual per kg. Padahal, di dalam peraturan pemerintah yang berlaku, tarif royalti emas sudah meningkat menjadi 3,75 persen dari harga jual emas per kg.

Dengan berlarut-larutnya penyesuaian kontrak oleh PT. FI, terjadi kerugian keuangan negara sebesar 169 juta dolar AS setiap tahun dari yang semestinya menerima 330 juta dolar AS. Kenyataannya, negara hanya menerima 161 juta dolar AS.

Hal serupa juga terjadi pada PT. VI yang tidak menyesuaikan tarif royaltinya. Akibatnya, kata Johan, negara mengalami kerugian pendapatan royalti sebesar 65,838 juta dolar AS setiap tahun. Pemerintah yang semestinya menerima 72 juta dolar AS dari royalti setiap tahun, hanya menerima 1/12 dari yang seharusnya sebesar 6,162 juta dolar AS.

Lebih jauh, hasil kajian KPK menemukan adanya kerugian keuangan negara dari hasil audit tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), yaitu sebesar 6,7 triliun rupiah (2003-2011) akibat kurang bayar royalti dan potensi kerugian keuangan negara dari 198 perusahaan pertambangan batubara sebesar 1,224 miliar dolar AS (2010-2012) dan dari 180 perusahaan pertambangan mineral sebesar 24,661 juta dolar AS (2011).

Menurut Johan, KPK menyayangkan tidak ada sanksi yang tegas bagi pemegang kontrak yang enggan melakukan renegosiasi dan penyesuaian tarif royalti. “Sebagai upaya di bidang pencegahan, KPK mengingatkan pemerintah agar mengambil langkah tegas termasuk dalam pemberian sanksi. Karena pembiaran proses renegosiasi kontrak ini, berujung pada kerugian keuangan negara,” katanya. [HukumOnline]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah