-->

Eltinus Omaleng Temani Masyarakat Amungme dengan Bergelimang Harta

JAKARTA – 'Bupati Bergelimang Harta', itulah kesan yang terlihat dari Bupati Mimika Eltinus Omaleng saat mendampingi warga Suku Amungme bertemu Staf Khusus Presiden Lenius Kogoya di kantor Setneg, Kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (29/6). Guna menuntut hak ganti rugi ulayat pada PT Freeport Indonesia (PTFI).

Perwakilan para kepala suku Amungme yang datang kebanyakan berpenampilan sederhana dengan mengenakan kemeja batik, celana bahan dan sepatu.

Lantas apa yang membuat penampilan sang bupati Eltinus nampak berbeda dari lainnya?

Meski memakai seragam pegawai negeri sipil berwarna cokelat biasa. Tapi ia bergelimang perhiasan yang menempelnya di antara seragamnya, sehingga bisa dikatakan menyilaukan mata.

Di tangan kanannya ada gelang berwarna emas berukuran cukup besar. Belum lagi jari tengah dan jari manis Eltinus melingkar cincin berwarnakan emas besar nan mengilat. Dua cincin itu bermatakan batu akik  merah tua dan hijau kehitaman.

Sementara itu di tangan kirinya, pria bertubuh tambun itu memakai sebuah jam tangan berwarna emas. Di tangan itu juga tersemat dua cincin emas bermata batu akik berwarna cokelat dan hitam.

Itu saja? Ternyata tidak. Sang bupati juga mengenakan sebuah kalung berwarna emas. Frame kacamata yang dipakainya juga berwarna serupa yang ternyata mengandung emas.

Tak tahu berapa berat semua emas yang dipakai Eltinus.

Saat dikonfirmasi hal itu, Eltinus tidak menjawabnya. Saat ponselnya dihubungi, Eltinus tidak merespon.

Kaya Karena Freeport

Eltinus Omaleng dilantik oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe pada 5 September 2014 setelah memenangi Pilkada Mimika putaran kedua pada 31 Mei 2014.

Sebelum menjabat Bupati Mimika, Ia merupakan pengusaha yang menangani sejumlah perusahaan di Timika, salah satu yang terkemuka adalah PT Salju Abadi Sejahtera (SAS) yang merupakan perusahaan penyalur tenaga kerja ke PTFI dan sejumlah perusahaan privatisasi serta kontraktornya.

Selain itu, ia adalah pemilik Yayasan Waartsing, sah satu dari enam yayasan dan lembaga masyarakat pribumi yang dibantu keuangannya secara langsung oleh PTFI. Lembaga-lembaga lain yang menerima dana program pengembangan masyarakat adalah Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme-Kamoro (LPMAK), Yayasan Tuarek Natkime, Yayasan Yu-Amako, Yayasan Hak Asasi Manusia dan Anti Kekerasan (Yahamak) dan Forum MoU 2000.

Dari dana yayasan dan perusahaan inilah Eltinus dapat menjadi Pengusaha dan Bupati Mimika yang bergelimang harta. Sayangnya hal ini bertentangan dengan kepemimpinannya sebagai bupati, para pegawai dan masyarakat Amungme dan Kamoro mengkritik kepemimpinannya yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat asli.

Saat pelantikan Eselon I dan II di lingkup Pemkab Mimika, Januari 2015 lalu mayoritas pejabat Amungme dan Kamoro didepak dari kantor pemerintahan, sedangkan pejabat non-Papua dimasukkan dalam kabinetnya, hal ini berujung pada unjuk rasa pegawai Amungme dan Kamoro yang tidak ditanggapinya.

Kemudian saat wacana pembangunan smelter yang hingga kini tidak diketahui kelanjutannya. Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko) menyatakan penolakan karena pihaknya sebagai pemilik ulayat di Poumako tidak pernah dilibatkan oleh Bupati Omaleng.

Ia juga melakukan tindakan sabotase dengan mengeluarkan SK 359 tentang pemberhentian dan pembekuan salah satu lembaga sesama penerima donor, LPMAK yang program-programnya telah membantu masyarakat Mimika.

Tindakan terakhir yang dikritisi masyarakat adalah tidak responnya  bupati atas pengesahan pelantikan anggota DPRD Mimika periode 2014-2019 yang dinilai sarat kepentingan politik.

Minta Uang Lebih

Seperti diberitakan sebelumnya, kedatangan Eltinus ke kantor Sekretariat Negara untuk memperjuangkan nasib masyarakat adat Amungme yang diklaimnya tidak mendapatkan hak ulayat mereka dari PTFI

Menurut dia, PTFI sudah menghabiskan banyak gunung di Mimika, untuk pertambangan.

"Kami minta ganti rugi di mana mereka sudah habiskan gunung emas yang mereka ambil. Ada empat sampai lima gunung," kata Eltinus.

Menurutnya, masyarakat adat tidak pernah menikmati satu pun ganti rugi dari PTFI sejak perusahaan Amerika itu masuk Papua tahun 1967.

Meski, PTFI sudah memberikan 1 persen dari hasil pertambangan lewat yayasan-yayasan asli pribumi termasuk yayasan yang dimiliki bupati. Hal itu dianggapnya tidak cukup dan tidak sebanding.

Karenanya dia menuntut PTF membayar lebih dengan nilai mencapai USD 36 miliar atau setara Rp 481 triliun.

"Kami minta mereka tanggungjawab. Kami sebutkan pembagian angkanya dari hasil kotor keseluruhan Freeport dialokasikan untuk Papua terutama di bidang pendidikan dan kesehatan," tandas Eltinus.  [JPNN/Papuanesia]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah