-->

Kemenlu RI Klaim Tidak Batasi Akses Jurnalis Asing

JAKARTA - Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir, mengatakan Pemerintah Indonesia tak pernah membatasi akses bagi jurnalis asing untuk meliput di Papua. Menurut dia, untuk melakukan peliputan, tetap harus dibutuhkan izin kerja berupa visa dan dokumen berupa penjelasan jenis peliputan.

Demikian ungkap Arrmanatha yang ditemui di kantor Kemlu, kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Menurut Arrmanatha, layaknya pekerjaan sebagai jurnalis lainnya untuk meliput di seluruh dunia, dibutuhkan visa. Arrmanatha menambahkan kemungkinan yang dianggap sebagai batasan oleh jurnalis asing itu, karena mereka merasa proses itu berbelit-belit.

"Itulah yang kini tengah coba dipangkas melalui kebijakan Presiden Joko Widodo. Kami tak pernah menutup-nutupi akses untuk ke Papua," ujar Arrmanatha.

Dia memaparkan sebagai bukti, di tahun 2015, ada delapan aplikasi peliputan ke Papua. Kedelapan aplikasi itu dipenuhi.

"Di tahun 2014, ada 27 aplikasi dan kami mengabulkan 22 aplikasi. Lima aplikasi lainnya tak lolos karena kurang lengkap administrasinya," kata Arrmanatha.

Sementara, terkait gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kerap bergerak dari luar Indonesia untuk menggalang dukungan, diplomat yang akrab disapa Tata itu menepis tidak ada satu pun negara yang memberikan dukungan terhadap gerakan separatis itu. Semua negara tetap mengakui kedaulatan Indonesia, kendati OPM bisa membuka kantor perwakilan di beberapa negara seperti Australia dan Inggris.

"Pemerintah Australia sudah berulang kali menyampaikan tidak mendukung gerakan OPM. Kalau masalah pembukaan kantor, jika mereka mengikuti aturan di sana untuk membuka kantornya, maka bagaimana cara pemerintahnya melarang?" kata dia.

Tata pun menambahkan agar sebaiknya isu mengenai OPM tidak dibesar-besarkan. Mereka merupakan organisasi kecil dan tidak diakui oleh pemerintah. Jika pemberitaan mengenai OPM kian meluas dan besar, maka makin besar juga gerakan separatis yang mereka buat.

Dia turut meminta kepada publik untuk mencermati gambar-gambar yang beredar di media sosial kemudian disebut sebagai tindak pelanggaran hak asasi manusia di Papua.

"Sebab, bisa saja aksi itu terjadi di wilayah lain, lalu disebut terjadi di Papua. Padahal tidak demikian," Tata menambahkan.

Presiden Jokowi pada Mei lalu mengatakan, larangan bagi jurnalis asing meliput di Papua telah dicabut. Hal tersebut disampaikan ketika diwawancarai oleh para wartawan di Abepura, Jayapura.

Pada kesempatan itu, mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga memberikan grasi terhadap lima tahanan politik yang terkait gerakan OPM. Jurnalis asing memang kerap merasa akses mereka untuk meliput ke Papua dibatasi.

Terakhir dua jurnalis Prancis diketahui bermasalah ketika meliput di Papua. Thomas Charles Dandois dan Marie Valentine Burrot dibui selama dua bulan di Papua karena melanggar UU Keimigrasian ketika tengah meliput di Papua.

Mereka menggunakan visa turis untuk melakukan pembuatan film dokumenter di Papua. Sempat muncul pula rumor kedua jurnalis itu merupakan mata-mata. [Viva]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah