-->

Tradisi Vetraw di Kampung Sawar, Kabupaten Sarmi

KOTA JAYAPURA - Tradisi sasi atau pelarangan bagi warga untuk menangkap ikan pada lokasi tertentu banyak terdapat pada suku-suku di Papua. Kali ini sasi atau larangan bagi Suku Sobey di Kampung Sawar disebut dengan nama Vetraw.

Arti kata vetraw dalam bahasa Suku Sobey mengandung makna larangan terhadap kawasan laut(Maoti) dan larangan terhadap wilayah darat terhadap jenis hewan sungai seperti buaya (Yarme) dan binatang melata di darat antara lain kadal, soa-soa yang dalam bahasa lokal disebut Sdema.

Sasi atau Vetraw yang terdapat di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua khususnya suku Sobey dan termasuk suku-suku yang mendiami pesisir pantai memiliki cara dan sistem melindungi dan melestarikan sumber daya alam sekitarnya.

Tradisi vetrawa sampai sekarang masih berlaku dan masyarakat setempat masih menjalankannnya sesuai dengan tradisi dan kepercayaan mereka. Bagaimana menjaga dan melestarikan alam warisan nenek moyang mereka.

Tradisi pelarangan yang masih berlaku dalam keseharian mereka meliputi pelarangan penggunaan alat dan perlengkapan semi modern dalam mencari dan menangkap ikan(Ina). Tidak mengosumsi beberapa jenis ikan (Ina). Pembagi waktu dalam pengambilan bia lola dan teripang di Pulau Niki. Ada beberapa bentuk vetraw yang masih berlaku sampai sekarang.

Pertama larangan atau Vetraw Laut

Masyarakat di Kabupaten Sarmi terutama di Kampung Sawar dan Pulau Liki atau Pulau Kumamba, belum sepenuhnya beradaptasi dengan alat perlengkapan semi modern. Sampai sekarang mereka masih menggunakan tradisional dalam mencari ikan. Bahkan mereka selalu mencegah agar jangan menggunakan peralatan semi modern yang cenderung merusak biota dan ikan di laut sekitar mereka tinggal.

Larangan memakai alat tangkap semi modern bagi warga Kampun Sawar karena mereka tak suka memakai alat pemusnah massal apalagi memakai bahan peledak maupun potassium. Masyarakat juga jarang memakai akar tuba dalam mencari ikan saat air surut.

Pelarangan ini bagi masyarakat sangat penting karena prinsip mereka bahwa kehidupan itu tidak hanya untuk generasi sekarang saja tetapi bagi generasi dan anak cucu masa depan. Ini mengandung nilai bahwa bumi ini dalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara bagi anak cucu.

Meski ada pelarangan, bukan berarti membatasi ruang mereka untuk mencari, bagi nelayan migran yang hendak mencari mendapat kebijakan mencari dan menangkap ikan dan udang pada zone tertentu. Terutama jauh dari permukiman masyarakat agar tidak mengganggu kehidupan mereka.

Setiap klen dan marga memiliki wilayah tangkapan tertentu dan terbatas, misalnya suatu wilayah terumbu karang atau yang dikenal dengan sebutan reep. Wilayah ini diyakini sebagai tempat mencari ikan dan mengosumsi keluarga maupun untuk dijual ke pasar terdekat.

Bagi kaum migran dilarang memakai peralatan semi modern yang cenderung mengeksploitasi atau pun merusak kawasan sumber kehidupan atau reep. Apalagi kalau alat tangkapan itu dianggap tak ramah lingkungan menyebabkan masyarakat cenderung melarang.

Selain itu ada klen atau marga yang tidak boleh mengonsumsi jenis ikan tertentu, misalnya marga Wayaso pemali memakan ikan layar(Lafai), bobara(Nparden) dan tongkol. Pelarangan atau istilah antropologi disebut totem. Menurut kisah marga Wayaso suatu ketika terjadi air bah atau tsunami, marga tersebut terseret air ke laut lepas dan menjelma menjadi ikan layar, ikan tongkol dan ikan bobara.

Hal ini menyebabkan mereka pantang atau pamali mengosumsi ikan jenis tersebut jika melanggar akan kena penyakit kulit, gatal-gatal. Mereka bisa disembuhkan oleh tokoh adat yang memiliki kekuatan magis.

Kedua larangan atau Vetraw kali, larangan terhadap hewan di sungai terutama buaya karena dianggap sebagai turunan manusia. Tak heran kalau buaya dipandang sebagai nenek moyang yang harus dihormati dan dilestarikan. Masyarakat setempat percaya pada cerita nenek moyang mereka bahwa dulu terdapat seorang ibu mengidam dan melahirkan anak kembar. Anak kembar pertama menjadi manusia, sedangkan kembarannya menjelma menjadi anak buaya.

Ketiga Vetraw darat, masyarakat percaya bahwa daerah-daerah sakral termasuk mata air tidak boleh diganggu. Begitu merusak sumber mata air, maka petaka banjir akan menghancurkan seisi kampung. Gunung Taraway dianggap sebagai gunung keramat sehingga setiap orang dilarang untuk mengambil kayu ataupun hasil hutan lainnya. [Jubi]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah