Alami Kredit Macet 2 Triliun, Bank Papua Diberikan Kartu Kuning
pada tanggal
Monday 13 July 2015
KOTA JAYAPURA - Kepala Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Papua, Prio Anggoro menilai permasalahan kredit macet yang membelit Bank Papua ini tidak akan terjadi jika pengawasan berjalan seperti seharusnya.
Ia menyebutkan pengawasan tersebut adalah layer pertama yaitu audit internal dan layer kedua yaitu Komisaris Bank Papua.
“Jika mulus di layer pertama dan kedua, ya mungkin ini (kredit macet) tidak akan terjadi,” ujar Prio dikonfirmasi Tabloidjubi.com Jumat (11/7) siang.
Permasalahan Bank Papua ini menurut Anggoro akumulasi dari persoalan yang terjadi selama kurang lebih 5-7 tahun belakangan. Ia kemudian mengakui, sebagai lembaga pengawas di sektor perbankan, Bank Papua menjadi perhatian khusus pihaknya karena masuk NPL diatas 5 persen.
Mengenai aman atau tidaknya Bank Papua, Anggoro menyebut Bank Papua sebagai bank yang kurang sehat. Jika diumpamakan lampu lalu lintas, Bank Papua saat ini mendapatkan lampu kuning.
Solusi permasalahan Bank Papua ini, kata Anggoro, OJK tetap melihat dan mengawasi pelaksanaan Bank Papua dalam ranah Standar Operasional Prosedur (SOP) OJK.
“Kita berikan dosis yang tepat, jangan terlalu berlebih jika melebihi terpotong keluarganya akan menuntut,” paparnya.
Sementara mengenai dengan prosedur pemberian kredit, Anggoro mengemukakan sistem perkreditan bank punya aturan sendiri. Sebab hal tersebut masuk dalam ranah Bank.
“OJK pun tidak bisa memberikan aturan yang ekslusif tiap agunan. Tiap bank beda-beda. Itu tergantung kebijakan dan kehati-hatian Bank itu sendiri,” lanjutnya.
Sebelumnya Gubernur Papua, Lukas Enembe menyatakan bank tempat dimana hampir seluruh Pegawai Negeri Sipil Provinsi ini menyimpan uang mereka memiliki hutang pajak dan kredit macet dengan nilai yang besar.
“Kami mencurigai adanya permainan orang dalam, karena menurut laporan kredit macet banyak terjadi justru di luar Papua yakni di Jakarta sebanyak Rp2 triliun,” kata Enembe, di Jayapura, Rabu (1/7).
Rapat pandangan akhir fraksi pada sidang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Papua dan Raperdasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2014 yang berakhir, Selasa (6/7) juga mencatat tunggakan pajak Bank Papua sebesar 200 Miliar yang belum disetor ke kas daerah.
Rustan Saru, Anggota Komisi III DPR Papua bidang Keuangan dan Aset Daerah, menanggapi masalah kredit macet di Bank Papua ini menegaskan perlu dilakukan perombakan direksi dalam tubuh Bank Papua untuk memperbaiki kinerja Bank Papua.
“Perlu ada perombakan direksi ke dalam dan evaluasi menyeluruh pada direksi Bank Papua. Agar mereka bentul-betul mengikuti standart prosedur perbankan, sehingga mereka tidak sembarangan memberikan kredit kepada pihak tertentu,” kata Rustan Saru di Acara Buka Bersama di Kediamannya, Kompleks BTN Puskopad Tanah Hitam, Distrik Abepura, Minggu (12/7).
Menanggapi hal itu pernyataan Gubernur dan DPRD, Bank Papua kemudian menggelar konferensi pers.
“Perhitungan pajak itu ada istilah disetahunkan. Kita pakai estimasi Rencana Bisnis Bank (RBB). Misalnya kita punya kewajiban pajak Rp. 500 Miliar, kita sudah bayar pajak tersebut tiap bulannya. Berdasarkan catatan kami dan juga sebagai yang diduga memiliki tunggakan pajak sebesar Rp 200 miliar, kami katakan tidak,” kata Sharly A. Parrangan, Direktur Umum dan Operasional Bank Papua di Jayapura, Rabu (8/7).
Tapi soal kredit macet, Parrangan mengakuinya. Ia menyebutkan tahun 2013 dividen Bank Papua mencapai Rp300 miliar namun pada 2014 turun menjadi Rp150 miliar. Dividen ini yang berkontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Papua tiap tahunnya. Sehingga kalau berkurang, otomatis PAD pun berkurang. Penurunan pendapatan dari dividen itu antara lain disebabkan oleh penurunan kualitas kredit atau peningkatan kredit bermasalah (NPL).
“Kami juga telah membentuk tim penyelamatan kredit bermasalah untuk mengatasi kredit bermasalah terutama yang dalam tingkat macet,” ujar menjelaskan solusi yang diambil Bank Papua atas masalah ini.
Salah satu komisioner Bank Papua, George M. Satya, tentang kredit macet di Bank Papua yang mengakibatkan bank ini kehilangan 50 persen dividennya meminta semua pihak untuk melihat persoalan yang sedang dihadapi oleh Bank Papua ini secara jernih. Termasuk pemberitaan mengenai hutang pajak yang dimiliki oleh Bank Papua.
“Benar bahwa ada kredit macet. Diantaranya dua kreditur besar dari Merauke yang tidak menjalankan kewajibannya. Tapi bank Papua tak punya hutang seperti pemberitaan media baru-baru ini. Kita juga harus lihat prestasi bank Papua. Hanya bank Papua yang bisa dan mau ekspansi sampai ke pelosok Tanah Papua. Tidak ada bank lain yang seperti bank Papua ini. Kita harus melihat bank Papua secara objektif,” kata George M. Satya saat menghadiri pelantikan Kepala Bank Indonesia Perwakilan Papua, Jumat (10/7).
Tahun 2011, dokumen Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) mengkonfirmasi salah satu kelemahan Bank Papua dalam menyalurkan kredit adalah melebihi plafon kredit yang seharusnya diberikan.
Dari data BPK ini diketahui jika jumlah kredit yang diberikan kepada sejumlah anggota dewan ini hampir dua kali lipat dari pinjaman kredit yang semestinya.
Plafon kredit yang seharusnya berkisar dari Rp. 149 juta lebih sampai Rp. 180 juta lebih untuk gaji riil anggota dewan sebesar Rp. 9 juta lebih sampai 12 juta lebih atau gaji pada saat permohonan Rp. 18 juta lebih sampai Rp. 34 juta lebih.
Namun Bank Papua memberikan pinjaman sebesar Rp. 270 juta – 420 juta. Dengan demikian, plafon kredit yang diberikan dibandingkan dengan perhitungan plafon kredit yang seharusnya, total jumlah selisih kredit ini sebesar Rp7.482.286.595 atau Rp15.278.000.000-Rp7.795.713.405.
Masalah Kredit Macet Bank Papua ini berbanding terbalik dengan prestasi peningkatan nilai aset Bank Papua. Nilai aset PT. Bank Pembangunan Daerah Papua atau Bank Papua pada 2014 naik sebesar Rp 2,5 triliun dibanding tahun sebelumnya.
Sebelumnya pada April 2015 lalu, Direktur Utama Bank Papua, Johan Kafiar mengungkapkan nilai aset Bank papua sudah mencapai Rp 20 triliun, naik 15 persen dari tahun 2013 yang senilai Rp17,5 miliar.
Hal ini, kata Johan, tidak lepas dari upaya perluasan jaringan kerja dan layanan Bank Papua yang dilakukan secara berkelanjutan seiring dengan perubahan dan perkembangan dunia perbankan dari waktu ke waktu.
“Kini Bank Papua menjadi bank dengan jangkauan terluas, terutama di Papua dan Papua Barat. Ini merupakan perkembangan yang signifikan dari tahun ke tahun sejak 48 tahun lalu,” ucap Kafiar. [Jubi]
Ia menyebutkan pengawasan tersebut adalah layer pertama yaitu audit internal dan layer kedua yaitu Komisaris Bank Papua.
“Jika mulus di layer pertama dan kedua, ya mungkin ini (kredit macet) tidak akan terjadi,” ujar Prio dikonfirmasi Tabloidjubi.com Jumat (11/7) siang.
Permasalahan Bank Papua ini menurut Anggoro akumulasi dari persoalan yang terjadi selama kurang lebih 5-7 tahun belakangan. Ia kemudian mengakui, sebagai lembaga pengawas di sektor perbankan, Bank Papua menjadi perhatian khusus pihaknya karena masuk NPL diatas 5 persen.
Mengenai aman atau tidaknya Bank Papua, Anggoro menyebut Bank Papua sebagai bank yang kurang sehat. Jika diumpamakan lampu lalu lintas, Bank Papua saat ini mendapatkan lampu kuning.
Solusi permasalahan Bank Papua ini, kata Anggoro, OJK tetap melihat dan mengawasi pelaksanaan Bank Papua dalam ranah Standar Operasional Prosedur (SOP) OJK.
“Kita berikan dosis yang tepat, jangan terlalu berlebih jika melebihi terpotong keluarganya akan menuntut,” paparnya.
Sementara mengenai dengan prosedur pemberian kredit, Anggoro mengemukakan sistem perkreditan bank punya aturan sendiri. Sebab hal tersebut masuk dalam ranah Bank.
“OJK pun tidak bisa memberikan aturan yang ekslusif tiap agunan. Tiap bank beda-beda. Itu tergantung kebijakan dan kehati-hatian Bank itu sendiri,” lanjutnya.
Sebelumnya Gubernur Papua, Lukas Enembe menyatakan bank tempat dimana hampir seluruh Pegawai Negeri Sipil Provinsi ini menyimpan uang mereka memiliki hutang pajak dan kredit macet dengan nilai yang besar.
“Kami mencurigai adanya permainan orang dalam, karena menurut laporan kredit macet banyak terjadi justru di luar Papua yakni di Jakarta sebanyak Rp2 triliun,” kata Enembe, di Jayapura, Rabu (1/7).
Rapat pandangan akhir fraksi pada sidang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Papua dan Raperdasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2014 yang berakhir, Selasa (6/7) juga mencatat tunggakan pajak Bank Papua sebesar 200 Miliar yang belum disetor ke kas daerah.
Rustan Saru, Anggota Komisi III DPR Papua bidang Keuangan dan Aset Daerah, menanggapi masalah kredit macet di Bank Papua ini menegaskan perlu dilakukan perombakan direksi dalam tubuh Bank Papua untuk memperbaiki kinerja Bank Papua.
“Perlu ada perombakan direksi ke dalam dan evaluasi menyeluruh pada direksi Bank Papua. Agar mereka bentul-betul mengikuti standart prosedur perbankan, sehingga mereka tidak sembarangan memberikan kredit kepada pihak tertentu,” kata Rustan Saru di Acara Buka Bersama di Kediamannya, Kompleks BTN Puskopad Tanah Hitam, Distrik Abepura, Minggu (12/7).
Menanggapi hal itu pernyataan Gubernur dan DPRD, Bank Papua kemudian menggelar konferensi pers.
“Perhitungan pajak itu ada istilah disetahunkan. Kita pakai estimasi Rencana Bisnis Bank (RBB). Misalnya kita punya kewajiban pajak Rp. 500 Miliar, kita sudah bayar pajak tersebut tiap bulannya. Berdasarkan catatan kami dan juga sebagai yang diduga memiliki tunggakan pajak sebesar Rp 200 miliar, kami katakan tidak,” kata Sharly A. Parrangan, Direktur Umum dan Operasional Bank Papua di Jayapura, Rabu (8/7).
Tapi soal kredit macet, Parrangan mengakuinya. Ia menyebutkan tahun 2013 dividen Bank Papua mencapai Rp300 miliar namun pada 2014 turun menjadi Rp150 miliar. Dividen ini yang berkontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Papua tiap tahunnya. Sehingga kalau berkurang, otomatis PAD pun berkurang. Penurunan pendapatan dari dividen itu antara lain disebabkan oleh penurunan kualitas kredit atau peningkatan kredit bermasalah (NPL).
“Kami juga telah membentuk tim penyelamatan kredit bermasalah untuk mengatasi kredit bermasalah terutama yang dalam tingkat macet,” ujar menjelaskan solusi yang diambil Bank Papua atas masalah ini.
Salah satu komisioner Bank Papua, George M. Satya, tentang kredit macet di Bank Papua yang mengakibatkan bank ini kehilangan 50 persen dividennya meminta semua pihak untuk melihat persoalan yang sedang dihadapi oleh Bank Papua ini secara jernih. Termasuk pemberitaan mengenai hutang pajak yang dimiliki oleh Bank Papua.
“Benar bahwa ada kredit macet. Diantaranya dua kreditur besar dari Merauke yang tidak menjalankan kewajibannya. Tapi bank Papua tak punya hutang seperti pemberitaan media baru-baru ini. Kita juga harus lihat prestasi bank Papua. Hanya bank Papua yang bisa dan mau ekspansi sampai ke pelosok Tanah Papua. Tidak ada bank lain yang seperti bank Papua ini. Kita harus melihat bank Papua secara objektif,” kata George M. Satya saat menghadiri pelantikan Kepala Bank Indonesia Perwakilan Papua, Jumat (10/7).
Tahun 2011, dokumen Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) mengkonfirmasi salah satu kelemahan Bank Papua dalam menyalurkan kredit adalah melebihi plafon kredit yang seharusnya diberikan.
Dari data BPK ini diketahui jika jumlah kredit yang diberikan kepada sejumlah anggota dewan ini hampir dua kali lipat dari pinjaman kredit yang semestinya.
Plafon kredit yang seharusnya berkisar dari Rp. 149 juta lebih sampai Rp. 180 juta lebih untuk gaji riil anggota dewan sebesar Rp. 9 juta lebih sampai 12 juta lebih atau gaji pada saat permohonan Rp. 18 juta lebih sampai Rp. 34 juta lebih.
Namun Bank Papua memberikan pinjaman sebesar Rp. 270 juta – 420 juta. Dengan demikian, plafon kredit yang diberikan dibandingkan dengan perhitungan plafon kredit yang seharusnya, total jumlah selisih kredit ini sebesar Rp7.482.286.595 atau Rp15.278.000.000-Rp7.795.713.405.
Masalah Kredit Macet Bank Papua ini berbanding terbalik dengan prestasi peningkatan nilai aset Bank Papua. Nilai aset PT. Bank Pembangunan Daerah Papua atau Bank Papua pada 2014 naik sebesar Rp 2,5 triliun dibanding tahun sebelumnya.
Sebelumnya pada April 2015 lalu, Direktur Utama Bank Papua, Johan Kafiar mengungkapkan nilai aset Bank papua sudah mencapai Rp 20 triliun, naik 15 persen dari tahun 2013 yang senilai Rp17,5 miliar.
Hal ini, kata Johan, tidak lepas dari upaya perluasan jaringan kerja dan layanan Bank Papua yang dilakukan secara berkelanjutan seiring dengan perubahan dan perkembangan dunia perbankan dari waktu ke waktu.
“Kini Bank Papua menjadi bank dengan jangkauan terluas, terutama di Papua dan Papua Barat. Ini merupakan perkembangan yang signifikan dari tahun ke tahun sejak 48 tahun lalu,” ucap Kafiar. [Jubi]