-->

Perpanjangan Kontrak PT Freeport Indonesia Dinilai Merugikan Pemerintah Pusat

JAKARTA - Terkait kontrak baru yang disepakati antara Presiden Joko Widodo dan CEO Freeport McMoran, James Moffet dan Presiden PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsudin, Pakar Hukum dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana  meminta pemerintah cermat menghitung langkah. Sebab, kebijakan terkait perpanjangan kontrak perusahaan tambang itu bisa menjadi bumerang.

Hikmahanto sudah mewanti-wanti Presiden Jokowi terkait permintaan perpanjangan kontrak yang diajukan oleh Freeport. Demi perpanjangan itu, Freeport bersedia mengganti status operasi tambang tembaga, emas dan perak di Kabupaten Mimika ini, dari KK menjadi IUPK.

"Saya bilang, ini hati-hati. Ini bisa penyelundupan hukum," katanya, Jumat (3/7).

Penyelundupan hukum itu, terjadi saat status KK diubah menjadi IUPK. Sedangkan dengan mengantongi IUPK itu Freeport otomatis bisa melanjutkan operasinya selama 20 tahun.

"Kalau misalnya (diubah di tahun) 2015, maka tambah 20 tahun, jadi sampai tahun 2035," kata Hikmahanto.

Padahal, status KK Freeport baru habis di tahun 2021. Dan menurut PP Nomor 77 Tahun 2014, KK baru bisa diperpanjang oleh Pemerintah 2 tahun sebelum kontrak habis.

Menurutnya, rakyat Indonesia juga belum tentu setuju jika Pemerintah memutuskan mengubah KK Freeport menjadi IUPK. Mereka bisa saja akhirnya menurunkan Presiden Jokowi di tengah jalan. Celakanya, jika kebijakan itu dianggap merugikan keuangan negara maka Presiden Jokowi juga bisa diperiksa oleh aparat penegak hukum.

"Iya kalau rakyat setuju, kalau nggak setuju, Pak Jokowi turun. Mungkin Pak Jokowi menjadi aparat presiden pertama yang dipanggil-panggil penegak hukum. Itu, makanya saya saya ingatkan kepada bapak Presiden," ujarnya.

Menurut Hikmahanto, wilayah pertambangan yang habis masanya harus dikembalikan ke pemerintah dan dimasukkan dalam wilayah pencadangan nasional (WPN). Termasuk wilayah tambang yang digarap Freeport di Papua. Jika berstatus WPN, seharusnya wilayah itu ditawarkan dulu ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Jika BUMN tidak berminat, wilayah itu baru bisa ditenderkan. Sehingga tidak bisa langsung diminta lagi oleh Freeport untuk digarap. "Nggak bisa langsung masuk ke Freeport," katanya.

Selain itu, Pemerintah mungkin bisa mengubah PP yang dibuatnya. Artinya, pemerintah mengubah atau merivisi peraturan PP Nomor 77 Tahun 2014. PP baru yang memungkinkan Freeport bisa mengajukan izin perpanjangan operasi sebelum 2019. Para pejabat pengambil kebijakan belum tentu berani mengambil risiko untuk mengubah atau merevisi aturan di PP itu.

Mereka berisiko dipanggil aparat penegak hukum karena dianggap melanggar undang-undang. "(Aturan di PP) itu kan dua tahun sebelum berakhir, berarti kan 2019. Lalu diubah, dimajuin lah sampai sekarang. Khawatir kita, pejabat yang mengubah PP itu. Karena nggak melibatkan DPR RI, ‘rakyat’. Pasti ini dia ada apa-apanya, takutnya gitu. Meskipun dia nggak punya niat jahat, tapi kan bisa dipanggil," kata Hikmahanto.

Untuk itu, Hikmahanto mengimbau kepada para pelaku usaha pertambangan untuk memahami posisi pemerintah. Menurutnya, para pengambil kebijakan saat ini memang ingin melakukan upaya debirokratisasi, menciptakan iklim investasi yang kondusif dan lain sebagainya. Namun, mereka juga takut jika kebijakan yang diambil justru menjadi bumerang bagi dirinya.

"Tetapi ketika dia harus mengambil keputusan dan ini bertentangan dengan aturan, dan akan berhadapan nantinya dengan aparat penegak hukum, mereka langsung bilang ya tunggu dulu, saya nggak berani," katanya.

Kekhawatiran itu yang menurut Hikmahanto tengah menghinggapi Presiden Jokowi saat ini. "Kalau nggak salah yang kemarin itu, pertemuan antara Pak Moffet (Chairman Freeport McMoRan Inc.) dengan presiden, presiden nggak bilang saya mau kasih perpajangan. Padahal sudah ditungguin satu bulan. Karena beliau khawatir juga kalau dianggap melanggar," katanya.

Kekhawatiran itu bisa muncul, karena tidak ada pelibatan masyarakat, dalam hal ini DPR dalam proses pembuatannya. Prosesnya tidak transparan dan aturan baru tersebut bisa dianggap akibat dari Freeport, atau aturan yang dibuat karena ada kebutuhan Freeport.

Menurut Hikmahanto, jika pemerintah membuat aturan baru, maka yang harus diketengahkan adalah bukan dalam rangka merevisi PP Nomor 77 Tahun 2014. Namun, lebih dalam rangka mengisi kekosongan hukum, yaitu bagaimana jika pemegang KK mau mengubah KK menjadi IUPK sebelum masa berlaku KK berakhir. [Gresnews]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah