Pekerja PT Redpath Indonesia akan Temui Presiden Joko Widodo
pada tanggal
Tuesday 13 October 2015
TIMIKA (MIMIKA) - Sebanyak 125 pekerja PT Redpath Indonesia yang sejak April dipecat oleh manajemen perusahaan gara-gara melakukan aksi mogok kerja berencana menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta.
Ketua PUK SPSI PT Redpath Indonesia Yesayas Mikhael Adadikam kepada Antara di Timika, Rabu, mengatakan, akan berangkat ke Jakarta dengan menumpang kapal PT Pelni dari Timika.
Sebelumnya pada 15 Juli 2015 para pekerja PT Redpath itu telah mengirimkan surat kepada Presiden di Jakarta. Namun hingga kini aspirasi mereka belum ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait.
"Kami 125 orang karyawan PT Redpath akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Presiden Jokowi. Kami akan minta dispensasi dari Dinas Perhubungan dan PT Pelni untuk bisa menumpang kapal laut ke Jakarta karena kami sudah tidak punya uang lagi untuk membeli tiket pesawat terbang," kata Yesayas.
Ia mengemukakan, perusahaan tempatnya bekerja itu merupakan salah satu sub-kontraktor di lingkungan PT Freeport Indonesia. Perusahaan asing asal Kanada itu sudah lebih dari 30 tahun beroperasi di area pertambangan Freeport dengan spesialisasi menangani operasi tambang bawah tanah (under ground).
"Kami bukan teroris. Kami bukan PKI (Partai Komunis Indonesia). Mengapa kami sebagai anak bangsa dipecat sepihak oleh ekspatriat (pekerja warga negara asing). Seharusnya kehadiran ekspatriat untuk transfer teknologi kepada pekerja Indonesia," tutur Yesayas.
Semenjak dipecat oleh PT Redpath, katanya, ratusan pekerja itu kini hidup tak menentu di Timika. Sebagian memilih pulang ke kampung halaman mereka. Sebagian lagi harus terusir dari rumah kontrakan karena sudah tidak mampu membayar sewa rumah kontrakan.
"Ada rekan-rekan kami yang nota bene merupakan warga tujuh suku (tujuh suku yang ada di sekitar kawasan pertambangan PT Freeport) terpaksa tinggal di pondok-pondok di hutan-hutan karena tidak sanggup lagi bayar sewa rumah kontrakan. Ini sungguh menyakitkan. Malah perusahaan memblack-list kami sehingga kami tidak bisa melamar kerja ke mana-mana," ujar Yesayas.
Ia mendukung keputusan Presiden Joko Widodo agar para pembantunya menginventarisasi perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK terhadap karyawannya.
Menurut Yesayas, kasus PHK massal yang melibatkan 125 orang pekerja di PT Redpath berlangsung dalam tiga gelombang sejak April.
Pihak perusahaan, membayar uang pesangon tidak wajar kepada pekerja yang di-PHK dengan dalih pekerja sendiri yang memilih tidak mau lagi bekerja.
"Ada yang terima pesangon Rp9 juta, ada yang terima Rp18 juta, ada juga yang terima hanya Rp3 juta. Padahal masa kerja teman-teman ada yang sudah mencapai belasan tahun," tutur Yesayas.
Kasus PHK ratusan pekerja PT Redpath itu sebetulnya telah difasilitasi oleh Bupati Mimika Eltinus Omaleng.
Pada 4 September 2015, Bupati Omaleng telah menyurati manajemen PT Redpath agar mempekerjakan kembali 125 pekerja yang telah di-PHK tanpa syarat. Namun surat dari Bupati Omaleng itu sama sekali tidak digubris oleh manajemen perusahaan itu.
Pada 10 September, Direktur PT Redpath Indonesia A Kemalsjah Siregar menjawab surat Bupati Mimika yang isinya meminta perpanjangan waktu selama dua minggu untuk mempelajari segala kemungkinan dan akibat-akibat yang timbul jika kembali mempekerjakan 125 pekerja tersebut.
Selanjutnya, pada akhir September manajemen Redpath kembali menyurati Bupati Mimika yang intinya menyatakan tidak akan mempekerjakan kembali 125 pekerja yang telah di-PHK lantaran sudah merekrut 44 orang pekerja asli Papua asal tujuh suku.
"Manajemen perusahaan ini sama sekali tidak menghargai keputusan Bupati Mimika. Kami minta kepada pemerintah untuk mencabut izin operasi perusahaan ini," desak Yesayas.
Adapun ikhwal PHK 125 pekerja PT Redpath itu bermula dari tuntutan karyawan agar perusahaan membayar bonus kerja.
Namun saat itu manajemen PT Redpath enggan membayar bonus kerja kepada karyawannya dengan alasan tidak punya uang.
Setelah melakukan perundingan selama tujuh kali sejak Januari-Maret 2015 dimana seluruhnya tidak menemui kesepakatan, maka pada 13 Maret 2015 karyawan PT Redpath mengancam akan melakukan mogok kerja.
Salah seorang pimpinan (manajer proyek) PT Redpath yang merupakan pekerja asing yang hadir saat itu mempersilahkan karyawan untuk melakukan aksi mogok.
"Ini ulah dari pimpinan perusahaan dalam hal ini manajer proyek yang menyampaikan kepada khususnya karyawan tujuh suku yang menuntut hak bahwa perusahaan tidak bisa menjawab tuntutan karyawan. Kalau kamu mau mogok, silahkan mogok. Maka terjadilah aksi mogok kerja sejak tanggal 13 Maret 2015. Dalam penyelesaian permasalahan, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika tidak melihat akar persoalan dari bawah," jelas Yesayas. [Antara]
Ketua PUK SPSI PT Redpath Indonesia Yesayas Mikhael Adadikam kepada Antara di Timika, Rabu, mengatakan, akan berangkat ke Jakarta dengan menumpang kapal PT Pelni dari Timika.
Sebelumnya pada 15 Juli 2015 para pekerja PT Redpath itu telah mengirimkan surat kepada Presiden di Jakarta. Namun hingga kini aspirasi mereka belum ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait.
"Kami 125 orang karyawan PT Redpath akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Presiden Jokowi. Kami akan minta dispensasi dari Dinas Perhubungan dan PT Pelni untuk bisa menumpang kapal laut ke Jakarta karena kami sudah tidak punya uang lagi untuk membeli tiket pesawat terbang," kata Yesayas.
Ia mengemukakan, perusahaan tempatnya bekerja itu merupakan salah satu sub-kontraktor di lingkungan PT Freeport Indonesia. Perusahaan asing asal Kanada itu sudah lebih dari 30 tahun beroperasi di area pertambangan Freeport dengan spesialisasi menangani operasi tambang bawah tanah (under ground).
"Kami bukan teroris. Kami bukan PKI (Partai Komunis Indonesia). Mengapa kami sebagai anak bangsa dipecat sepihak oleh ekspatriat (pekerja warga negara asing). Seharusnya kehadiran ekspatriat untuk transfer teknologi kepada pekerja Indonesia," tutur Yesayas.
Semenjak dipecat oleh PT Redpath, katanya, ratusan pekerja itu kini hidup tak menentu di Timika. Sebagian memilih pulang ke kampung halaman mereka. Sebagian lagi harus terusir dari rumah kontrakan karena sudah tidak mampu membayar sewa rumah kontrakan.
"Ada rekan-rekan kami yang nota bene merupakan warga tujuh suku (tujuh suku yang ada di sekitar kawasan pertambangan PT Freeport) terpaksa tinggal di pondok-pondok di hutan-hutan karena tidak sanggup lagi bayar sewa rumah kontrakan. Ini sungguh menyakitkan. Malah perusahaan memblack-list kami sehingga kami tidak bisa melamar kerja ke mana-mana," ujar Yesayas.
Ia mendukung keputusan Presiden Joko Widodo agar para pembantunya menginventarisasi perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK terhadap karyawannya.
Menurut Yesayas, kasus PHK massal yang melibatkan 125 orang pekerja di PT Redpath berlangsung dalam tiga gelombang sejak April.
Pihak perusahaan, membayar uang pesangon tidak wajar kepada pekerja yang di-PHK dengan dalih pekerja sendiri yang memilih tidak mau lagi bekerja.
"Ada yang terima pesangon Rp9 juta, ada yang terima Rp18 juta, ada juga yang terima hanya Rp3 juta. Padahal masa kerja teman-teman ada yang sudah mencapai belasan tahun," tutur Yesayas.
Kasus PHK ratusan pekerja PT Redpath itu sebetulnya telah difasilitasi oleh Bupati Mimika Eltinus Omaleng.
Pada 4 September 2015, Bupati Omaleng telah menyurati manajemen PT Redpath agar mempekerjakan kembali 125 pekerja yang telah di-PHK tanpa syarat. Namun surat dari Bupati Omaleng itu sama sekali tidak digubris oleh manajemen perusahaan itu.
Pada 10 September, Direktur PT Redpath Indonesia A Kemalsjah Siregar menjawab surat Bupati Mimika yang isinya meminta perpanjangan waktu selama dua minggu untuk mempelajari segala kemungkinan dan akibat-akibat yang timbul jika kembali mempekerjakan 125 pekerja tersebut.
Selanjutnya, pada akhir September manajemen Redpath kembali menyurati Bupati Mimika yang intinya menyatakan tidak akan mempekerjakan kembali 125 pekerja yang telah di-PHK lantaran sudah merekrut 44 orang pekerja asli Papua asal tujuh suku.
"Manajemen perusahaan ini sama sekali tidak menghargai keputusan Bupati Mimika. Kami minta kepada pemerintah untuk mencabut izin operasi perusahaan ini," desak Yesayas.
Adapun ikhwal PHK 125 pekerja PT Redpath itu bermula dari tuntutan karyawan agar perusahaan membayar bonus kerja.
Namun saat itu manajemen PT Redpath enggan membayar bonus kerja kepada karyawannya dengan alasan tidak punya uang.
Setelah melakukan perundingan selama tujuh kali sejak Januari-Maret 2015 dimana seluruhnya tidak menemui kesepakatan, maka pada 13 Maret 2015 karyawan PT Redpath mengancam akan melakukan mogok kerja.
Salah seorang pimpinan (manajer proyek) PT Redpath yang merupakan pekerja asing yang hadir saat itu mempersilahkan karyawan untuk melakukan aksi mogok.
"Ini ulah dari pimpinan perusahaan dalam hal ini manajer proyek yang menyampaikan kepada khususnya karyawan tujuh suku yang menuntut hak bahwa perusahaan tidak bisa menjawab tuntutan karyawan. Kalau kamu mau mogok, silahkan mogok. Maka terjadilah aksi mogok kerja sejak tanggal 13 Maret 2015. Dalam penyelesaian permasalahan, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika tidak melihat akar persoalan dari bawah," jelas Yesayas. [Antara]