-->

Mengenal Idam Khalid Sosok ‘Kak Seto Tembagapura’

KUALA KENCANA (MIMIKA) – ‘Kak Seto Tembagapura’ inilah sebutan untuk Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Papua dan Papua Barat, Idam Khalid, oleh masyarakat yang mengenalnya lewat kontribusi yang dilakukan selama ini.

“Itu sebutan kepada saya, ketika menjadi pengarah sanggar kreasi anak-anak dan para remaja di Tembagapura pada tahun 1980-an,” tutur Idam saat ditemui Salam Papua di kediamannya, Jalan Elang, RT 4, Kelurahan Kuala Kencana, Distrik Kuala Kencana, Jumat (13/11) siang.

Pria yang lahir 51 tahun lalu di Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara ini terlihat sangat segar dan bugar menjalani tugasnya sebagai pelayan masyarakat dibidang pelayanan kemasyarakatan khususnya dibidang perlindungan anak-anak.

Kecintaan kepada anak-anak ini diakui, telah terbentuk semenjak ia masih kanak-kanak. Sebab saat belasan tahun. Meski lahir didalam keluarga yang mapan, ia nyatanya dibesarkan oleh kerabat keluarganya yang menetap di daerah perkebunan yang jauh dari Desa Kema, Kecamatan Kema, Kabupaten Minahasa Utara. Dengan jarak yang cukup jauh dari orang tua kandungnya, pengalamanlah yang membuat ia semakin kuat dan erat untuk melindungi hak-anak-anak yang ditemuinya.

“Sejak kecil pada tahun-tahun 60 hingga 70’an, saya sudah ajarkan kepada diri sendiri untuk menjadi kuat secara mental. Kalau ada orang atau orang tua yang lakukan kekerasan terhadap anak, saya langsung maju dan berantam dengan orang itu, bahkan saya laporkan kepada orang-orang untuk membantu menindak orang-orang yang berbuat kekerasan itu. Kalau ada orang tua yang berkelahi, saya sering masuk dan tegur mereka agar berhenti berkelahi didepan anak-anak,” jabar dia.

Dikatakan, sikap beraninya ini muncul karena rasa empati yang dirasakannya sebagai anak yang ‘diabaikan’ oleh orang tua kandung.

“Meski dalam beberapa kurun waktu orang tua mengunjungi saya di desa itu, namun pada dasarnya saya diabaikan oleh mereka. Pada jaman yang susah dan menderita dimana semuanya harus antri mendapatkan beras maupun minyak tanah, perhatian keluarga yang seharusnya saya dapatkan, tidak ada sama sekali,” ujarnya.

“Bagaimana saya hidup dengan alam, berkebun dan tinggal dengan orang-orang yang saat itu berpikiran sederhana dan sangat tidak mengenal pendidikan, hal itulah yang membuat saya kuat dan mampu berpikir terbuka,” ujar dia.

Mengikuti dua jalur pendidikan secara bersamaan yakni pendidikan formal yakni Sekolah Melayu (sekolah negeri) dan pendidikan informal di Sekolah Arab (madrasah), pria yang saat itu  berumur 10 tahun itu mulai mengenali ketidak pedulian dalam sistem pendidikan.

“Selain keterbatasan wawasan dalam pendidikan, orang-orang tua di Manado saat itu masih memiliki kepercayaan untuk mengabaikan anak-anak ‘tertentu’ sehingga saya yang dinilai berada dalam kategori itupun berpikiran keras untuk bekerja. Sampai umur 12 tahun ketika dijemput kembali oleh orang tuapun saya di Manado-pun, saya tetap bekerja keras.  Sampai-sampai, saya sering dimarahi oleh orang tua karena bekerja,” tutur dia.

Niat besar untuk menjadi seorang pria mandiri diusia belia, membuat Idam muda ini pun berpikir untuk berkelana keluar dari tanah Minahasa.

“Tamat SMP, pada Maret 1980 saya langsung lari ke Papua. Tiba di Biak dan langsung mendaftar dan kemudian dipanggil untuk bekerja di Freeport,”

Sebagai karyawan termuda yang masuk di perusahaan yang saat itu masih memiliki karyawan sejumlah 3000 orang itu,  Idam menyatakan dirinya merasakan dirinya harus berbuat sesuatu di areal perusahaan yang saat itu masih ketat dan minim hiburan.

“Saat bekerja di Tembagapura, saya masih berumur 16 tahun. Mau tidak mau saya bergaul dengan anak-anak karyawan SMP dan SMA yang seumuran dengan saya. Kami saat itu sangat butuh hiburan, sehingga dengan dasar mencintai anak-anak, saya pun menciptakan Sanggar Kreativitas Anak Tembagapura dan membuat kegiatan baik pentas seni yang bernilai sosial maupun keagamaan,” ujar dia.

Ia menyatakan sanggar yang diciptakannya itu digunakan untuk meniru program acara Aneka Ria Anak-anak  di TVRI yang dibawakan oleh Seto Mulyadi yang lebih dikenal sebagai Kak Seto. Sebab disela-sela pekerjaannya sebagai pengemudi trailer, ia menyempatkan diri mendorong anak-anak Tembagapura untuk dapat menunjukkan aksi dan kreasi seni mereka.

“Kami saat itu gemar dengan acara-acara yang dibuat Kak Seto, sehingga banyak kegiatan yang kami lakukan di hari-hari nasional dan keagamaan, baik itu HUT Kemerdekaan Indonesia, Hari Sumpah Pemuda, Hari Kartini, Hari Pahlawan, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Kesaktian Pancasila, Hari Natal, Hari Paskah, Hari Idul Fitri dan Idul Adha. Dari situlah muncul sebutan ‘Kak Seto Tembagapura’ dari anak-anak dan warga di Tembagapura,” ujar suami dari Restia Dindasari ini.

Ia menyatakan kegiatan yang dilakukan didukung penuh oleh Persatuan Wanita Freeport dan  dukungan itu selanjutnya ditunjukkan dengan didirikannya band anak muda pertama di Tembagapura yakni Band Bahana pada tahun 1985 dan Studio Radio Gema Rimba pada tahun 1986.

“Banyak kegiatan yang kami lakukan dengan dukungan para ibu-ibu dan keluarga karyawan. Sehingga ada saja aktivitas yang kami lakukan seperti karaoke multiplex bersama di studio radio, menyiarkan program kreasi anak-anak, drama radio,” kisahnya.

Selama berkreasi bersama anak-anak karyawan, yang beberapa diantaranya telah menjadi figur nasional seperti Ari Sihasale yang kini menjadi sutradara beberapa film berkualitas. Ia mengakui ada perubahan yang mendasar dari dirinya, yakni ingin menjaga dan menyuarakan hak anak-anak yang selama ini diabaikan dan ditutup-tutupi.

Keprihatinannya dari pria yang kini bekerja sebagai Instruktur di Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN) ini semakin menguat ketika dirinya melihat dan mendengar secara langsung berbagai tindakan kekerasan terhadap anak-anak yang ada di Tanah Papua.

“Semenjak tahun 1990 an Tindak kekerasan terhadap anak di Timika dan Papua secara keseluruhan mulai meningkat, mulai dari pembunuhan, penelantaran anak, pelecehan seksual, penganiayaan dan lainnya yang membuat hati saya serasa teriris,” ujar dia.

Simpatinya ini pun diwujudkan dengan melakukan pertemuan dengan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Kak Seto yang juga merupakan tokoh panutannya itu.

“Saya pun membulatkan niat untuk bertemu Kak Seto di Jakarta. Dengan mengambil cuti, saya pun menemui Kak Seto di Kemang. Setelah pertemuan itu saya dipercayakan oleh Kak Seto untuk medirikan LPA Papua. Setelah  kepercayaan itu disahkan, saya pun kembali ke Timika dan mendirikan pengurusnya di Jayapura,” ujar dia.

Ayah dari delapan orang anak yakni Badria, Walid, Aldila, Ismail, Rizal, Rifaldi, Anisa dan Kema pun mulai berkreasi dengan memberikan gerakan-gerakan peduli anak di Papua, diantaranya dengan melakukan seminar, lokakarya, sosialisasi peraturan perlindungan anak dan pendataan anak-anak yang membutuhkan perlindungan hukum bersama dengan semua elemen pemerintahan.

“Tugas Lembaga Perlindungan Anak adalah melindungi, namun kami juga melibatkan kepolisian, kejaksaan negeri, dinas sosial dan dinas-dinas terkait lainnya, sehingga sinergi untuk mengurangi tindak kekerasan baik fisik maupun mental kepada anak menjadi berkurang,” ungkapnya.

Sembari mengharapkan agar karyanya selama separuh abad ini dapat dijadikan pelajaran oleh siapa saja yang ingin menjaga hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya yang dilidungi oleh Tuhan dan negara.

“Kita harus tingkatkan budaya sekolah dan budaya belajar, sehingga budaya malas dan tidak peduli dengan perkembangan yang ada termasuk perlindungan terhadap generasi muda saat ini semakin menguat dan menjadi kekuatan kepada kita semua,” tukas dia mengakhiri wawancara. [SalamPapua]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah