-->

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalami Penggunaan Anggaran PLN

pln
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami penggunaan anggaran di bidang energi dari pemeriksaan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir.

"Kasusnya yang di Papua ini, itu kan bukan dana PLN, tidak ada anggaran PLN, itu murni APBN, jadi tidak masuk ke PLN. Kita jelaskan prosedurnya kalau yang APLN (Anggaran PLN), kita jelaskan juga bagaimana dengan IPP bagaimana juga dengan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro), kita jelaskan semua," kata Sofyan seusai diperiksa sekitar lima jam di gedung KPK Jakarta, Senin.

Sofyan diperiksa untuk anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo yang menjadi tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait usulan penganggaran proyek pembangunan infrastruktur Energi Terbarukan di Deiyai.

"Proyek ini dari APBN karena itu proyeknya (Kementerian) ESDM, bukan proyeknya PLN. Dulu tahun 2015, memang kami tidak lagi menangani proyeknya APBN, saya sudah berkirim surat bahwa kami tidak lagi menangani proyek APBN, kami hanya menangani proyek-proyek APLN," tambah Sofyan Namun Sofyan mengakui ada proyek mikrohidro yang dimiliki PLN yang jumlahnya ada 480 proyek.

"Ada (proyek mikrohidro), ya di Indonesia Timur tapi tidak di Deiyai, itu APBN, bukan PLN," ungkap Sofyan.

Menurut Sofyan, perbedaan sumber anggaran tersebut pun membedakan pengguna anggarannya.

"Perbedaannya tidak ada, prosedurnya saja yang berbeda, kalau dari APBN di turunnya ke dinas, kalau APLN turunnya ke GM (General Manager). Tapi nanti ujungnya akan ke PLN kalau dijual," jelas Sofyan.

Sofyan pun mengaku belum pernah membicarakan proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro dengan anggota Komisi VII.

"Tidak ada pertemuan, kan baru mulai. Tapi saya kenal (Bu Dewie), kan Komisi VII itu mitra," kata Sofyan.

Sofyan juga tidak tahu apakah ada anggota Komisi VII lain yang terlibat dalam proyek tersebut.

"Saya tidak tahu (anggota Komisi VII lain), PLN kan tidak ikut campur," tambah Sofyan.

Dalam perkara ini, Dewie diduga menerima 177.700 dolar Singapura (sekitar Rp1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiady Jusuf agar Dewie mengupayakan anggaran dari Pemerintah Pusat untuk Pembangunan pembangkit listrik di Deiyai.

Jumlah tersebut adalah separuh dari "commitment fee" sebesar 7 persen dari total anggaran sebesar Rp50 miliar.

Selain dalam surat dakwaan Irenius dan Setiady, awalnya Dewie meminta dana pengawalan sebesar 10 persen dari anggaran yang diusulkan untuk pengurusan anggaran pembangkit listrik Kabupaten Deiyai.

Dewie pun sempat akan membicarakan dengan anggota badan anggaran Komisi VII DPR sekaligus menyampaikan mekanisme penganggaran melalui dana aspirasi sebesar Rp50 miliar sehingga dana pengawalan yang harus disiapkan adalah Rp2 miliar.

Namun Setiady hanya bersedia memberikan dana pengawalan sebesar 7 persen dari anggaran yang diusulkan dengan syarat bila Setiady gagal menjadi pelaksana proyek maka uang harus dikembalikan. Atas kesepakatan itu Dewie meminta Setiady menyerahkan setengah dari dana pengawalan sebelum pengesahan ABPN 2016 melalui Rinelda.

Uang pun diserahkan pada 20 Oktober 2015 di Kelapa Gading, Jakarta Utara melalui asisten Dewie, Rinelda Bandaso dari Setiady yang disaksikan Irenius. Namun setelah penyerahan uang, KPK menangkap ketiganya.

Proyek itu merupakan bagian dari proyek unggulan pemerintah untuk membangun pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) yang diluncurkan pada 4 Mei lalu.

Atas perbuatan tersebut, Dewie Yasin Limpo, asistennya Rinelda Bandaso dan satu staf Dewie lain bernama Bambang Wahyuhadi disangkakan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan Irenius dan Setiady didakwa berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (antara)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah