-->

Raja Suku Kei Terapkan Hukum Larvul Ngabal di Timika

TIMIKA (MIMIKA) - Dua Raja Suku Kei, yaitu  Raja Rumat, Songli dan Raja Danar, Vamur Danar bersama wab wab, tokoh adat dan tokoh masyarakat Kei telah menginjakkan kaki di Pelabuhan Nusantara Paomako, Timika pada Kamis (17/11) malam.  Detik pertama setelah dua orang raja tersebut turun dari KM Tatamilau, maka hukum adat Suku Kei, Hukum Larvul Ngabal dinyatakan berlaku di Kota Timika.

Raja Songli dan Vamur Danar bersama rombongan disambut melalui upacara adat oleh Ketua Lemasko, Robertus Waropea bersama tetua adat masyarakat suku Kamoro sebagai pemilik tanah Mimika.

"Kami turun di Timika ini untuk mendamaikan anak-anak kami. Agar mereka bisa membuat ketentraman di tanah Timika. Kami mohon ijin hukum kami, Larvul Ngabal juga bisa berada di tempat ini, di tanah ini," ucap juru bicara Raja Songli dan Vamur Danar menyampaikan maksud kedatangannya kepada tetua adat masyarakat Kamoro.

Ia menjelaskan, kedatangan dua raja tersebut bukan saja ingin mendamaikan pertikaian antara raskap hoar ngutru dan soin harki, tetapi untuk seluruh masyarakat Suku Kei. Hukum Larvul Ngabal akan menjaga dan melindungi setiap masyarakat Suku Kei yang taat pada aturan hukum tersebut, serta menjaga kehidupan bersama dan ketertiban umum.

"Tetapi hukum kami juga bisa menghukum siapa saja dari warga Suku Kei yang bertindak di luar kehendak dan aturan hukum Larvul Ngabal, kepada masyarakat Suku Kei yang mengacaukan tanah Timika," katanya.

Tetua adat suku Kamoro menjawab permintaan tersebut dengan mengatakan Suku Kei dan Suku Kamoro telah memiliki sejarah panjang . Dan di mata masyarakat, dua suku tersebut adalah saudara. Sirih pinang kemudian diserahkan sebagai simbol hukum Larvul Ngabal masuk Timika.

"Kehadiran suadara kita terima dengan tangan terbuka, supaya persatuan dan kesatuan ini terikat dalam ikatan kekeluargaan," kata tetua adat Suku Kamoro.

Sekretaris Panitia, Antonius Welerubun kepada wartawan menjelaskan bahwa,  kedatangan Raja Songli dan Vamur Danar bersama rombongan merupakan momen perubahan bagi masyarakat Suku Kei yang selama ini sering meresahkan masyarakat Timika. Momen tersebut adalah kehendak mayararakat Suku Kei kembali ke misi leluhur, membawa misi agama dan pendidikan.

"Puncaknya akan ada upacara sumpah adat, agar tidak ada lagi pertikaian baik antara suku Kei maupun dengan suku lain. Nanti ditandai dengan penancapan sat sat pada tugu peringatan di Jalan Pattimura," katanya.

Ia menyebutkan, pada hari ini, Jumat (18/11) pagi, Raja Songli dan Vamur Danar akan bertemu masyarakat Suku Kei di Jalan Pattimura Jalur VII.

Kemudian sorenya, bertemu dengan masyarakat Suku Kei di Jalan Kondro. Lalu pada Sabtu (19/11) dilaksanakan upacara adat pencucian yang menandai pelepasan segala hal buruk dan sial ke kali. Dan, tanggal 20 hingga 22 November merupakan masa tenang, masa dimana masyarakat Suku Kei melakukan perenungan dan intropeksi diri. Sedangkan, puncak upacara adat dilaksanakan pada Rabu (23/11), berupa penancapan sat sat pada tugu peringatan di Jalan Pattimura.

"Tugu itu merupakan tugu peringatan bagi seluruh masyarakat Kei untuk membawa damai di Timika. Tugu itu sebagai pengingat bahwa, hukum Larvul Ngabal berlaku di Timika," jelas Anton.

Sementara itu, ditempat terpisah, Ketua III Lemasko, Marianus  Maknaipeku mengaku tidak mengetahui kehadiran dua raja Kei di Timika untuk melakukan prosesi adat pada tugu perdamaian yang sudah di bangun tepat di ujung Jalan Patimura, Jalan Yos Sudarso.

Dikatakan, apabila ada kehadiran raja dari suku lain, semestinya harus berkoordinasi dengan suku pemilik daerah ini. Sehingga, bisa mengetahui maksud dan tujuan kehadiran mereka.

"Andaikan hanya sebagai sumpah adat saja silakan-silakan saja. Dan kami juga tidak tau kalau ada raja dari Kei sudah tiba di Timika sini. Tiba-tiba kami hanya mendapat pemberitahuan melalui SMS. Kalau dilihat secara hukum tidak relevan. Sehingga kami ingin ada penjelasan dan diundang semua komponen masyarakat Papua yang mendiami Mimika,"tutur Marianus ditemui di salah satu hotel di Jalan Yos Sudarso, Kamis (17/11).

Sementara di tempat yang sama, Ketua II Lemasko, Gergorius Okware mengatakan bahwa, sebenarnya tidak perlu lagi ada tugu perdamian. Sebab, ia mencontohkan, konflik - konflik yang terjadi di Kwamki Lama tidak pernah ada satu tugu perdamaian yang dibangun di sana.

"Saya lebih cenderung kepada orang tua-tua kita yang bawa misi pendidikan, agama masuk di Mimika.  Kalau seperti itu, pastinya bukan seratus persen, tapi seribu persen kami dukung," katanya.

Ia menilai, tidak adanya pembicaraan dengan suku yang mendiami daerah ini akan kehadiran raja Kei dan prosesi adat pada tugu perdamaian, sehingga pihaknya merasa tidak dihargai. 

"Tidak ada pembicaraan dari dua lembaga adat maupun lima suku kekerabatan lainnya maupun suku Papua lainnya di Mimika, sehingga sama saja tidak menghargai. Ternyata Ketua Lemasko mengatur masyarakat dan tampilkan tarian penjemputan," tutur Gerry.

Hal senada di katakan Ketua Lemasa, Nerius Katagame. Kata dia, kehadiran raja Kei dan pembuatan tugu perdamaian di atas tanah ini harus seijin suku pemilik daerah.

"Kalau memang tidak ada ijin dari dua suku ini mendingan batalkan semua rencana buat prosesi adat rugu perdamain itu. Sebab ini merupakan satu penghinaan besar bagi kami orang asli Timika," kata Nerius kepada Salam Papua via selulernya. 

Sementara itu, Kepala Suku Kei di Timika,  Piet Rafra mengaku, tidak mengetahui kehadiran dua raja Kei di Timika. Karena, hingga kini tidak ada pemberitahuan kepada dirinya. Apalagi kini dirinya sedang menjalani perawatan medis di Manado.

"Saya benar-benar tidak tau, dan raja siapa yang datang itu," kata Piet kepada Salam Papua via selulernya.

Ia menegaskan, kepada pihak yang melakukan acara ini, sebaiknya harus memiliki ijin dari dua lembaga adat yang ada di Mimika. Apabila tidak memiliki ijin, acara ini sebaiknya dibatalkan.

"Saya ingatkan kepada pihak-pihak melakukan itu, kalau tidak punya ijin dari dua lembaga adat di Timika, maka harus dibatalkan. Sebab salah kalau melakukan prosesi adat tugu perdamaian di tanah adat orang lain.  Apalagi prosesi itu khusus untuk dua kelompok saja. Kalau memang, libatkan Suku Kei semua, maka dibuat dalam konteks lain bukan cara perdamaian dengan buat tugu seperti itu," kata Piet. (salampapua.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah