-->

Inilah Tiga Poin Kesepakatan Pemerintah Pusat dan Freeport Indonesia

 
JAKARTA - Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengakui bahwa negosiasi dengan PT Freeport Indonesia telah sampai pada tahap finalisasi.

Menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan, ada tiga poin pembahasan yang telah hampir diselesaikan. Pertama, pemerintah tetap menekankan kewajiban PT Freeport Indonesia (PTFI) menerima perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kedua, soal ketentuan perpajakan dalam IUPK yang masih dinegosiasikan oleh pihak Freeport, dan ketiga, terkait kondisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan Freeport.

Ia menjelaskan, untuk poin pertama, pemerintah tetap tegas, bahwa ekspor tak bisa dilakukan jika Freeport masih berstatus Kontrak Karya meski pemerintah telah mengeluarkan rekomendasi ekspor pada Februari lalu. Meski Freeport tetap komitmen dan bersedia mengubah statusnya menjadi IUPK. Namun, saat ini proses perubahan tersebut masih dalam tahap finalisasi.

"Sampai saat ini, PTFI bersedia menerima perubahan KK menjadi IUPK. PTFI tetap sepakat jadi IUPK. Karena rekomendasi ekspor enggak bisa didasarkan atas Kontrak Karya lagi," kata Jonan dalam rapat kerja di hadapan anggota Komisi VII DPR RI, Kamis (30/3).

Menurut dia, Freeport belum mengubah status menjadi IUPK hingga saat ini lantaran ada ketentuan IUPK yang belum disepakati oleh perusahaan tambang asal Paman Sam itu. Ketentuan itu adalah ketentuan perpajakan yang ada di dalam IUPK, di mana pajak yang dibayar Freeport harus bersifat prevailing atau mengikuti ketentuan pajak yang berlaku.

"Persayaratan di perpajakan dan retribusi daerah ini mereka minta ada diskusi panjang, minta enam bulan sejak mereka menerima IUPK atau delapan bulan sejak Februari. Jadi, mereka minta adanya nail down atau adanya ketetapan pajak diatur sesuai perjanjian awal Kontrak Karya," tutur Jonan.

Namun, lanjut Jonan, domain perpajakan ada di wilayah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Freeport pun diminta untuk melakukan negosiasi dengan Kemenkeu terkait persoalan pajak tersebut. Menurut Jonan, jika Freeport sepakat IUPK, maka izin ekspor tetap diberikan pemerintah dengan syarat Freeport wajib melakukan pembangunan smelter.

"Mengenai nego pajak nail down ini jadi domain ke kemenkeu. Kita heran, PTFI kalau ikut perpajakan yang eksisting ini (prevailing), padahal tarif pajaknya lebih rendah daripada Kontrak Karya (sistem nail down). Mungkin yang dikahwatirkannya adalah retribusi daerah, misal retribusi daerah atas penggunaan air permukaan," kata dia.

Ia mengungkapkan, pajak air permukaan Freeport diatur melalui Peraturan Gubernur yang angkanya bisa ditetapkan berdasarkan aturan pemerintah daerah itu. Besaran angka itulah yang tidak disetujui oleh Freeport Indonesia.

"Angkanya yang mungkin tidak cocok bagi Freeport. Kita akan ajak pemerintah Papua untuk ikut berunding dalam proses penetapan syarat-syarat keuangan fiskal di IUPK itu. Tapi mudah-mudahan prinsipnya mereka menerima mengubah jadi IUPK. Termasuk penciutan perluasan jadi 25 ribu ha. Mereka menerima," tutur Jonan.

Sebelumnya Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan mengatakan proses perundingan dnegan PTFI sudah mulai menunjukkan titik terang, dengan adanya sejumlah kemajuan yang tercapai.

"Perundingan dengan Freeport, saya kira cukup maju. Kementerian ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) sedang melakukan finalisasi legal dengan Freeport. Operasi Freeport, juga sudah mulai jalan lagi," kata Luhut di kantornya, kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat 24 Maret 2017.

Ia menjelaskan, Freeport tidak boleh menawar beberapa hal yang telah menjadi ketetapan bagi pemerintah Indonesia. Seperti misalnya soal divestasi saham 51 persen, pembangunan smelter, dan klausul perpajakan dengan skema prevailing yang bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku.

"Soal saham, kita 51 persen, Freeport 49 persen. Kita juga tak pernah mundur soal smelter. Kemudian soal pajak, kalau dia mau nailed down (sampai 2021), silakan. Padahal, pajak kita sekarang cenderung menurun," kata Luhut.

Jika Freeport masih berkeras pada pendiriannya dan menolak patuh pada aturan milik Pemerintah Indonesia, Luhut menegaskan, pemerintah tidak akan memperpanjang lagi kontrak Freeport usai habis di 2021 mendatang.

Dia juga memperingatkan pihak Freeport, agar setidaknya mereka bisa menghormati Indonesia sebagai negara yang berdaulat, demi keberlanjutan negosiasi terkait permasalahan tersebut.

"Tahun 2021 kan selesai (kontrak Freeport), kalau kita mau tetap pada aturan, tunggu saja tahun 2021. Istilahnya, mereka kan sewa rumah kita, kalau kita enggak mau sewain lagi, boleh kan. Anak cucu saya ingin tinggal di situ, juga boleh kan," kata Luhut. (viva)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah