-->

Hengky Rumbino Beberkan Tantangan Pengelolaan Underground Grasberg

Hengky Rumbino Beberkan Tantangan Pengelolaan Underground Grasberg

JAKARTA - Cadangan emas dan tembaga di Tambang Grasberg, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, adalah salah satu yang terbesar di dunia. Total kekayaan mineral di sana mencapai 3,8 miliar ton. PT Freeport Indonesia (PTFI) telah mengelolanya sejak 1991 atau 26 tahun lalu.

Namun menambang emas dan tembaga di Grasberg bukan pekerjaan mudah. Setelah tambang terbuka Grasberg sebentar lagi akan habis cadangannya, Freeport saat iin mengembangkan tambang bawah tanah, persis di bawah gunung Grasberg. Tambang bawah tanah Freeport di Papua adalah salah satu tambang emas bawah tanah terbesar di dunia.

Vice President Underground Mine Operations PT Freeport Indonesia, Hengky Rumbino, menuturkan yang banyak tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari medan pegunungan yang ekstrem hingga iklim yang cepat berubah. Tapi itu semua mampu dilalui oleh para pekerja Indonesia yang bekerja di Freeport.

"Tantangan pasti unik, karena kita beroperasi di medan yang sangat ekstrem, membutuhkan ketangguhan operator yang baik dengan perubahan iklim drastis, fatigue issue, orang cepat lelah, kondisi alam berubah-ubah. Tapi kita mampu, tambang sebesar itu bisa dioperasikan oleh insinyur-insinyur Indonesia," kata Hengky kepada detikFinance di Jakarta, Rabu (12/4).

Lalu di tambang bawah tanah sedalam 1,6 kilometer (km), tantangan yang harus diatasi adalah kestabilan batuan. Ketika meledakkan badan bijih, batuan harus tetap dijaga keseimbangannya supaya terowongan tak runtuh.

"Tambang bawah tanah juga lebih dari 90% dijalankan oleh anak-anak Indonesia. Tantangan yang kita punya, tambang bawah tanah kita termasuk dalam. Kita menambang di kedalaman 1,6 km di bawah tanah. Tantangannya bagaimana memastikan kestabilan batuan, bagaimana penambangan dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya kecelakaan. Tantangan paling besar adalah menambang di kedalaman dan meledakkan batuan," ujarnya.

Putra asli Papua lulusan Teknik Pertambangan ITB ini menambahkan, para pekerja di tambang underground juga menghadapi bahaya luncuran lumpur basah yang dapat menimbun mereka di bawah tanah. Hal-hal ini harus dikontrol agar tak menimbulkan korban jiwa.

"Di samping itu ada juga yang namanya lumpur basah. Lumpur basah ini bahayanya sangat tinggi. Di area yang sempit, kalau ada lumpur, terjadi luncuran, kita bisa tertimbun. Beda kalau kita di area terbuka, kalau terjadi luncuran kita bisa menyelamatkan diri. Ini tidak ada di operasi penambangan lain di seluruh dunia," paparnya.

Menurut Hengky, tingkat kerumitan tambang bawah tanah Freeport tiada duanya di dunia. Hanya Freeport yang bisa mengelola tambang dengan tingkat kesulitan seperti ini. "Hanya kita saja yang bisa melakukan penanganan dengan baik untuk 600-an titik penarikan yang sifatnya basah," tutupnya.

Didik Orang Buta Huruf

Dari sekitar 12.000 karyawan PT Freeport Indonesia, 4.300 orang atau sepertiga di antaranya adalah orang asli Papua. Hampir semua warga asli Papua yang direkrut Freeport masih rendah tingkat pendidikannya, banyak di antaranya masih buta huruf ketika bergabung.

Freeport memberikan pelatihan dan pendidikan, khususnya untuk anggota 7 suku, yaitu Amungme, Kamoro, Moni, Ndunga, Damal, Dani, dan Ekari agar memiliki pengetahuan dasar dan keterampilan dasar. Ini bentuk komitmen Freeport untuk memberdayakan masyarakat lokal.

Lewat Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN), Freeport mempersiapkan orang-orang asli Papua agar dapat bekerja di Tambang Grasberg. Pertama-tama mereka diajari baca tulis dulu selama kurang lebih 2 tahun.

"Di tambang bawah tanah, kami punya sumber daya manusia yang bervariasi. Kalau bicara tenaga kerja Papua, ada dari berbagai latar belakang. Ada yang berlatar pendidikan baik, ada yang tidak memiliki latar pendidikan memadai, tidak bisa baca tulis. Kami tetap rekrut, terutama dari 7 suku di sekitar wilayah pertambangan. Kami coba menjembatani mereka dari sisi kemampuan baca tulis, dan sebagainya. Yang tidak bisa baca tulis kami ajar dulu agar mengerti hal-hal yang prinsip, mengerti sign, dan sebagainya. Proses literasi butuh waktu juga 1-2 tahun," tutur Hengky.

Hengky mengungkapkan, Freeport membuka kesempatan seluas-luasnya bagi warga Papua. Mulai dari yang tak bisa baca tulis sampai lulusan perguruan tinggi bisa bekerja di Freeport. IPN juga mendidik pekerja yang lulusan SMP, SMA, hingga D3 agar siap bekerja di tambang Freeport.

"Selain dari yang membutuhkan proses literasi, kita masukkan juga dalam program di Institut Pertambangan Nemangkawi. Di institut ini targetnya adalah mereka yang cuma lulusan SMP, SMA, bisa baca tulis. Ada juga yang D3 yang kita masukkan untuk dilatih hal-hal dasar mengenai keselamatan kerja, skill, dan knowledge yang dibutuhkan untuk pekerja tambang," ucapnya.

IPN berdiri di atas Kawasan Light Industrial Park seluas 6 hektar. Terdapat berbagai fasilitas seperti perpustakaan, bengkel besar, area simulasi tambang bawah tanah, simulator truk Caterpillar dan Western Star, alat-alat berat yang digunakan untuk pelatihan, dan sebagainya. Dalam setahun, dana sebesar Rp 600 miliar dialokasikan Freeport untuk pendidikan dan pelatihan di IPN.

"Di institut ini kami lakukan penjurusan, ada yang cocoknya jadi operator, juru las, dan sebagainya. Biasanya 1,5 tahun di sana. Setelah itu kita lihat beberapa kandidat potensial, kita berikan kesempatan untuk OJT (on the job training) di tambang. Kita kasih kesempatan mengoperasikan alat-alat berat. Kita akan latih mereka, butuh sekitar 4 tahun, baru jadi karyawan permanen Freeport," papar Hengky.

Setelah menjadi karyawan Freeport, para pekerja asli Papua terus dikembangkan kemampuannya hingga menjadi ahli di bidangnya dan mendapat lisensi khusus. "Kami akan kembangkan lagi 4 tahun (setelah diangkat menjadi karyawan) untuk memastikan karyawan jadi ahli di bidangnya. Untuk kompetensi tertentu, ada license," tukasnya.

Sejak 2003 sampai 2010, IPN telah melatih 400 mekanik alat berat, 500 operator alat berat, 500 pekerja tambang bawah tanah, dan 2.900 peserta magang. Semuanya orang asli Papua.

"Total men-develop 1 pekerja Papua itu butuh sekitar 10 tahun sejak rekrutmen. Rata-rata seperti itu. Operasi tambang kami membuka kesempatan bagi orang-orang Papua untuk belajar tambang dari A-Z," imbuh Hengky.

Orang-orang Papua, sambungnya, tak hanya menjadi operator saja di Freeport. Ada yang sudah di level menengah dan atas, seperti dirinya. "Tidak semua orang Papua di level bawah. Sekarang fokus kami memperbanyak karyawan Papua di level menengah. Dari sisi operator cukup banyak, tapi memberikan kesempatan untuk di manajemen itu suatu hal yang harus kami kembangkan juga," ujarnya.

Freeport berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas maupun kuantitas orang-orang Papua di dalam perusahaan. Ke depan, akan semakin banyak orang Papua yang duduk di level atas dan menengah.

"Ada komitmen kami untuk tetap memastikan di tiap level karyawan Papua mendapatkan kemampuan yang cukup. Jadi promosi bukan karena dia Papua, kami harus mengedepankan profesionalisme bahwa orang itu memang wajar di posisi itu. Progresnya cukup baik, saya lihat trennya positif, itu paling penting. Tujuan kami orang Papua bisa bekerja, mendapat knowledge yang baik, suatu ketika bekerja di tambang yang lain mampu bersaing," tutupnya. (detik.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah