-->

Pemerintah Pusat Tidak Mau Disebut Lunak ke PTFI

JAKARTA - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak terima dengan anggapan sejumlah pihak yang menyatakan bahwa pemerintah kembali menunjukkan sikap melunak saat berhadapan dengan PT Freeport Indonesia.

Kementerian ESDM sejauh ini masih konsisten dengan komitmen awal untuk mewujudkan hilirisasi mineral. Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M Djuraid mengungkapkan, saat ini berkembang isu yang mempertanyakan‎ komitmen dan konsistensi Kementerian ESDM dalam menangani persoalan Freeport.

"Tidak sedikit yang menghakimi pemerintah tidak konsisten, melunak, dipecundangi, dan sebagainya," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews di Jakarta, Kamis (6/4/2017).

Dalam proses perundingan dengan Freeport, sambung dia, Kementerian ESDM mengacu dan berpedoman pada UU No 4 tahun 2009 dan PP Nomor 1 tahun 2017. Atas dasar itu, posisi dan sikap Kementerian ESDM adalah menggunakan perundingan untuk memastikan Freeport mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), dan divestasi saham hingga 51%.

"Tiga poin tersebut tidak bisa ditawar dan dinegosiasi. Yang bisa dirundingkan adalah bagaimana implementasinya," tegas dia. (Baca: Divestasi 51% Saham Freeport Paling Bagus lewat IPO)

CEO Freeport McMoran Richard Adkerson sebelumnya tegas menolak perubahan KK menjadi IUPK, menolak membayar bea keluar ekspor konsentrat, dan menolak divestasi saham 51%.

Selain itu, kata Hadi, raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut juga akan membawa kasus tersebut ke arbitrase internasional, jika dalam 120 hari tidak tercapai kesepakatan dengan pemerintah Indonesia.

"Dengan demikian, ketika mengawali perundingan pada Februari 2017. Standing position kedua belah pihak sangat jelas. Kedua belah pihak sepakat membagi perundingan dalam dua tahap, yaitu perundingan jangka pendek dan perundingan jangka panjang. Jangka waktu perundingan enam bulan, terhitung sejak Februari 2017," terang Hadi.

Menurutnya, fokus perundingan jangka pendek adalah perubahan KK menjadi IUPK. Perubahan KK menjadi IUPK menjadi prioritas karena akan menjadi dasar bagi perundingan tahap berikutnya.

Di samping itu, IUPK memungkinkan operasi Freeport di Timika kembali normal, sehingga tidak timbul ekses ekonomi dan sosial berkepanjangan bagi masyarakat Timika khususnya dan Papua umumnya.

Setelah empat pekan berunding, Freeport sepakat menerima IUPK. Meski demikian, perusahaan tambang kelas kakap ini meminta perpanjangan waktu perundingan dari enam bulan sejak Februari menjadi delapan bulan sejak Februari. Kementerian ESDM menyepakati permintaan tersebut, sehingga waktu tersisa terhitung sejak April ini adalah enam bulan.

"Enam bulan adalah waktu tersisa untuk perundingan jangka panjang, meliputi pokok bahasan stabilitas investasi yang dituntut Freeport sebagai syarat menerima IUPK, kelangsungan operasi Freeport dan divestasi saham 51%," ungkapnya.

Sesuai PP 1 tahun 2017, tambah dia, pemegang IUPK bisa mengajukan rekomendasi ekspor konsentrat untuk enam bulan, dengan syarat menyampaikan komitmen pembangunan smelter dalam lima tahun, membayar bea keluar yang ditetapkan Menteri Keuangan, dan divestasi saham hingga 51%.

Poin tentang divestasi akan masuk dalam pembahasan jangka panjang. Progres pembangunan smelter akan diverifikasi oleh verifikator independen setelah enam bulan.

Menurutnya, jika hasil verifikasi menunjukkan progres pembangunan smelter tidak sesuai dengan rencana yang telah disetujui Kementerian ESDM, maka rekomendasi ekspor akan dicabut.

"Ketentuan tersebut berlaku untuk semua pemegang IUPK, tanpa kecuali. Prosedur ini telah ditempuh pemegang KK lainnya yang telah beralih ke IUPK, yaitu PT Amman Mineral Nusa Tenggara.‎ Dengan demikian jelas bahwa landasan operasi Freeport dalam enam bulan ke depan adalah IUPK," tegasnya.

Alhasil, terang Hadi, target perundingan jangka pendek telah tercapai, termasuk kembali normalnya operasi Freeport di Timika sehingga ekses sosial dan ekonomi yang terjadi sejak pelarangan ekspor Freeport pada 12 Januari 2017 tidak meluas dan berkepanjangan.

Hadi menambahkan, perundingan tahap kedua akan dimulai pekan kedua April dengan landasan IUPK. Perundingan melibatkan lembaga terkait, di antaranya Kemenkeu, BKPM, Kemendagri, Pemrov Papua, Pemkab Timika dan wakil masyarakat adat di Timika.

Apabila setelah enam bulan ke depan tidak tercapai kesepakatan terkait poin-poin perundingan jangka panjang di atas, Hadi menegaskan bahwa Freeport bisa kembali ke KK dengan konsekuensi tidak bisa melakukan ekspor konsentrat.

"Dengan demikian cukup jelas dan gamblang bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM konsisten pada komitmen mewujudkan hilirisasi mineral, serta memperkuat kedaulatan nasional melalui kepemilikan 51% saham," tandasnya. (sindonews)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah