-->

Wilayah Anim Ha

Wilayah Anim Ha

Inilah tanah manusia sejati, tanah yang penuh kehidupan dan penghidupan bagi siapa pun yang menghargai pertiwi. Daerah paling barat Provinsi Papua yang kemudian lebih dikenal sebagai Bumi Anim Ha (manusia sejati) ini meliputi Kabupaten Mearuke, Boven Digoel, Asmat, dan Mappi. Ketika hendak menuju ke wilayah ini, Bandar Udara Mopah-Merauke menjadi tempat pertama yang ditapaki. Tempat dimana mentari tak lagi malu-malu menyapa siapa pun yang berkunjung ke dataran terluas di Tanah Papua ini. Anim Ha juga merupakan wilayah terluas sekaligus kawasan terdepan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini.

Marind Anim adalah suku yang menjadi tuan rumah di tanah datar ini. Mereka menghuni empat penjuru mata angin dengan tujuh marga besar, yaitu Gebze, Kaize, Samkakai, Ndiken, Mahuze, Balagaize, dan Basik-basik. Seperti dituliskan J Van Baal dalam karyanya, ‘Dema” Description and Analysis of Marind Anim Culture’, dahulu Suku Marind atau Malind punya kepercayaan terhadap dema, yakni roh yang dipercaya bisa menjelma sebagai apa pun di alam ini, baik manusia, binatang, tumbuhan, atau batu. Semua alam semesta berasal dari dema. Dema ini berupa kekuatan gaib dalam alam, atau berupa roh-roh orang mati. Semua itu terkait pula dengan konsep mereka tentang totemisme. Karena itu ada dema-dema alam yang dipuja selain dema-dema totemnya sendiri. Ada dema yang memunculkan diri di hadapan manusia berbentuk manusia pula atau berbentuk hewan. Ada yang disebut yorma (dema laut), wonatai (totem buaya), yawi (dema kelapa) dan lain-lain. Hari berganti bulan, tahun berganti abad, keharmonisan masyarakat Malin dengan alam terus terjaga. Laku berburu, meramu  dan bercocok tanam masih dipertahankan hingga saat ini. Satu hal lagi, sagu merupakan sumber makanan pokok penduduk Malind Anim. Sagu juga digunakan dalam ritual peradilan adat, musyawarah dan adat perkawinan. Orang Marind sangat terkenal dengan makanan khas yang berasal dari olahan sagu, bercitarasa sedap dan lezat. Pohon sagu juga bisa digunakan untuk perahu dan bahan bangunan rumah. Sagu sangat menunjang kehidupan orang marind, itulah sebabnya mereka menganggap sagu sebagai ‘raja’, yang harus dihormati dan dipelihara.

Kata Anim menurut Suku Marind-Anim berarti laki-laki (anem untuk laki-laki, anum untuk perempuan). Orang Marind Anim mendiami dataran luas di Papua Barat bagian selatan, mulai dari Selat Muli (Selat Marianne) sampai ke daerah perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini. Sebagian dari mereka tersebar pula di sekitar daerah aliran sungai Buraka, Bian, Eli, Kumbe dan Maro. Daerah tersebut berada dalam wilayah Kecamatan Okaba, Merauke, sebagian Kecamatan Kimam dan Muting di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Daerah ini merupakan dataran rendah bersavana dengan floranya yang mirip flora benua Australia dan dataran berawa-rawa yang ditumbuhi pohon sagu di sungai-sungai. Jumlah populasinya sekitar 5.000-7.000 jiwa.

Suku Marind hidup di selatan dari bagian bawah sungai Digul, timur dari Pulau Yos Sudarso, terutama di barat Sungai Maro (area kecil melewati Maro di bagian bawahnya, termasuk Merauke). Hari ini daerah yang dihuni oleh orang Marind-anim masuk dalam Provinsi Papua di Indonesia.

Sebagian orang Marind-Anim hingga saat ini masih dikenal sebagai suku bangsa pengayau. Kaum lelakinya memiliki peranan sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam peradaban lama itu mereka mengembangkan peralatan senjata untuk berperang dan berburu, seperti busur dari bambu, anak panah dari gelagah, tombak dan gada dari kayu, kampak batu dan perahu-perahu panjang (lebih kurang 15 meteran) yang didayung sambil berdiri, alat-alat penikam dan pemotong dari tulang atau kulit kerang. Mereka memasak dengan menggunakan tabung bambu atau dengan memanfaatkan panas batu.

Masyarakat Marind Anim tinggal dalam kampung-kampung yang biasanya memiliki paling tidak sebuah rumah bujang yang mereka sebut gotad. Kaum lelaki sejak remaja tinggal di rumah ini. Sementara itu di sekitar gotad berdiri rumah-rumah keluarga (oram aha) atau rumah kaum wanita yang lebih kecil ukurannya. Sebuah kampung, biasanya terbentuk dari ikatan kerabat (klen patrilineal) atau berupa ikatan teritorial yang eksogamik totemisme sifatnya, karena masyarakat Marind Anim lebih mementingkan peranannya dalam lingkungan keluarga luasnya.

Pembentukan sebuah kampung atau federasi kampung oleh sistem klen totemisme itu menyebabkan adanya kelompok moiety totem dalam sebuah permukiman kampung. Perkawinannya bersifat eksogami dan mereka menganut sistem kekerabatan yang patrilineal, dimana seorang isteri harus masuk dan bergabung dengan kelompok kerabat wanita suaminya. Seorang isteri mula-mula ikut berdiam di rumah keluarga batih orangtua suaminya. Jika rumah itu sudah terlalu padat ia bisa minta dibuatkan sebuah oram aha kepada suaminya dan kerabat laki-laki suaminya. Bila sudah begitu, ia pun pindah ke rumahnya yang baru dan siap pula untuk menerima menantu perempuannya.

Arsitektur rumah dan seni ukir mereka amat sederhana. Rumah-rumah didirikan dengan berlantai tanah, berdinding balok-balok kayu yang kokoh, beratap daun ilalang atau daun nipah. Ukiran hanya dibuat untuk menghiasi tiang-tiang bangunan sakral mereka. Akan tetapi seni berbusana Marind Anim terkenal paling menarik dan semarak, terutama pakaian para prajurit dan penarinya. Kesenian Orang Marind Anim mirip dengan kesenian orang Asmat.

Suku lainnya yang berada di wilayah Anim Ha adalah Suku Asmat. Suku asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. populasi suku asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal cara hidup, sturktur sosial dan ritual.

Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku bisman yang berada di antara sungai sinesty dan sungai nin serta Suku Simai.

Suku Asmat meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan Dewa Fumeripitsy yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menurut keyakinan mereka, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan.

Suku Asmat ada yang tinggal di daerah pesisir pantai, jarak mereka antara satu lokasi dengan lokasi pemukiman lainnya berkisar 100 km hingga 300 km. Bahkan yang berada di daerah pedalaman, dikelilingi oleh hutan heterogen yang berisi tanaman rotan dan kayu (gaharu) waktu tempuhnya mencapai 1 hari 2 malam untuk mencapai daerah pemukiman satu dengan yang lainnya. Sedangkan jarak antara perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km. Dengan kondisi geografis demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya cara untuk mencapai daerah perkampungan satu dengan lainnya.

Orang-orang Asmat pandai membuat hiasan ukiran. Hebatnya, mereka membuat ukiran tanpa membuat sketsa terlebih dahulu. Ukiran-ukiran yang mereka buat memiliki makna, yaitu persembahan dan ucapan terima kasih kepada nenek moyang. Bagi Suku Asmat, mengukir bukan pekerjaan biasa. Mengukir adalah jalan bagi mereka untuk berhubungan dengan para leluhur.

Orang-orang Suku Asmat percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal dapat menyebabkan bencana bagi orang yang masih hidup, menyebabkan peperangan, juga menyebarkan penyakit. Untuk menghindari hal tersebut, orang-orang Suku Asmat akan membuat patung dan menyelenggarakan berbagai macam pesta. Di antaranya adalah Pesta Bis, Pesta Perah, Pesta Ulat Sagu, dan Pesta Topeng.

Pemerintah Provinsi P apua menetapkan daerah pengembangan wilayah Anim Ha sebagai  pusat pengembangan pangan melalui Pengembangan Kawasan Pangan Merauke (PKPM). Disamping itu kawasan Anim Ha ini juga dijadikan pusat pengembangan perkebunan untuk tanaman tebu, karet dan sawit, pengembangan perikanan di Merauke dan Asmat, pengembangan peternakan sapi di Merauke, serta pengembangan wisata budaya Asmat, sejarah Boven Digoel, dan keanekaragaman hayati Merauke.

Sesuai dengan data tahun 2015 dari Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Provinsi Papua, Lahan untuk perkebunan di Kabupaten Merauke tersedia seluas 1.434.750 hektar yang baru dimanfaatkan 0,68% atau 9.768 hektar. Sedangkan di Boven Digoel lahan yang tersedia seluas 618.200 hektar yang baru dimanfaatkan baru 3% atau 18.541 hektar. Lalu di Kabupaten Mappi, baru memanfaatkan lahan seluas 5.069 hektar atau 0,86% dari lahan seluas 591.767 hektar yang tersedia. Terakhir di Kabupaten Asmat, dimana lahan yang tersedia seluas 168.730 hektar dan baru dimanfaatkan seluas 50 hektar atau 0,03%.