-->

Aktivis Papua Merdeka dan Kebebasan Pers akan Berunjuk Rasa pada 1 Mei

Aktivis Pendukung Papua Merdeka dan Kebebasan Pers akan Berunjuk Rasa pada 1 Mei
LONDON (INGGRIS) - Aktivis pendukung Papua Merdeka dan pendukung kebebasan pers merencanakan aksi unjuk rasa di sejumlah kota di berbagai negara memprotes Hari Kebebasan Pers Dunia di Jakarta pekan depan.

Aksi itu akan menyerukan agar dunia memfokuskan perhatian pada masih dihambatnya akses jurnalis asing ke Papua, padahal sejak awal tahun lalu pemerintah RI telah berjanji untuk membukanya.

Aksi unjuk rasa secara global tersebut akan dimulai pada 1 Mei dan berpuncak pada Hari Pers Dunia, 3 Mei.

Menurut situs pendukung Papua Merdeka, Free West Papua Campaign, dikutip dari asiapacificreport.nz, aksi unjuk rasa antara lain akan berlangsung di Trafalgar Square, London, Inggris pada 1 Mei pukul 12:00 waktu setempat, bergerak  menuju Kedubes RI di Westminster, London.

Sementara itu di Abuja, Nigeria, peserta unjuk rasa akan berkumpul pada  1 Mei pukul 08:00 di Eagles Squares menggabungkan diri dengan unjuk rasa hari buruh. Aksi unjuk rasa mendukung Papua Merdeka di Abuja diprakarsai oleh Dimeji Macaulay dari Conscience Radio.

Selain di dua kota itu, aksi unjuk rasa lainnya juga sedang direncanakan di The Hague, Belanda, Perth, Australia, Denmark, Jepang, Malawi dan Selandia Baru.

Masih sebagai bagian dari rangkaian aksi itu, Benny Wenda, Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), organisasi payung dan pemersatu bagi berbagai elemen pembebasan Papua, dijadwalkan akan berada di Selandia Baru pada 8 hingga 16 Mei. Di Selandia baru ia antara lain  akan  berbicara pada sebuah acara yang diselenggarakan oleh Pacific Media Center di Auckland University of Technology.

Kehadiran Benny Wenda di Selandia Baru disponsori oleh Auckland West Papua Action, Asia Pacific Human Rights dan Pax Christi.

Dilansir dari voxy.co.nz, Benny Wenda akan menyerukan dukungan bagi keadilan politik dan sosial bagi rakyat Papua. Secara khusus ia juga akan meminta dukungan pemerintah Selandia Baru atas inisiatif bangsa-bangsa Pasifik yang mendorong isu Papua di PBB.

Sementara itu, Neles Tebay, pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timor dan koordinator Jaringan Damai Papua, dalam sebuah tulisannya di media independen Katolik, La Croix International, menyerukan agar pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP, dan membicarakan agenda kebijakan yang disepakati kedua belah pihak.

Menurut dia, kekerasan HAM di Papua tidak akan berakhir tanpa pemerintah dan ULMWP duduk bersama dalam sebuah dialog damai. "Dukungan internasional sangat diperlukan untuk mendorong dialog itu terjadi," kata dia.

Neles Tebay mengungkapkan, kekerasan HAM diperkirakan masih akan terus terjadi di masa mendatang.

Ada empat alasan yang ia kemukakan.

Pertama, meningkatnya kehadiran militer dan semakin luasnya komando teritorial. Saat ini di Papua ada dua Komando Daerah Militer, yaitu di Jayapura dan Manokwari.

Sejak 2001, pemerintah juga telah menambahkan tiga batalion di Wamena, Timika dan Merauke, disamping  batalion yang sudah ada. Ia memperkirakan saat ini sudah ada 4000-6000 tentara di Papua, dan masih akan bertambah lagi.

Posisi ini, kata dia, sangat kontras dengan inisiatif yang diluncurkan oleh masyarakat sipil untuk menciptakan Papua sebagai Tanah Damai.

Kedua, pendekatan keamanan masih terus berlanjut kendati pemerintah telah mengedepankan pendekatan kesejahteraan di Papua.

Sebagai contoh dalam Pilkada di sebuah kabupaten belum lama ini, pihak kepolisian dituduh mendukung salah satu kandidat, sehingga Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyerukan kepada Kapolri dan Presiden Jokowi, untuk memberhentikan Kapolda Papua karena kasus tersebut.

Pendekatan keamanan, kata dia,  melanggar HAM karena rakyat Papua dengan mudahnya ditahan, dipukul, disiksa, bahkan ditembak dan dibunuh.

"Saat ini setidaknya 1,5 juta penduduk non-Papua (di Papua) yang tak pernah menjadi korban pelecehan HAM karena mereka dianggap penduduk Indonesia. Hanya orang Papua yang menjadi sasaran militer dan polisi dan menjadi korban selama 54 tahun pemerintahan RI di Papua," tulis dia.

Ketiga, tidak adanya kemauan politik pemerintah RI dalam menangani isu-isu HAM. "Pemerintah tidak serius menangani HAM di Papua. Pada 2016 pemerintah membentuk tim untuk menangani tiga kasus besar pelanggaran HAM di Papua. Dikatakan bahwa kasus itu akan selesai sebelum tahun 2016. Tetapi pemerintah gagal melaksakannya."

Keempat, tidak adanya keinginan melakukan dialog dengan rakyat Papua.Menurut Neles Tebay, kelompok-kelompok yang berseberangan dengan Indonesia telah bersatu di bawah ULMWP pada Desember 2014. ULMWP merupakan perwakilan utama kelompok-kelompok Orang Asli Papua. Neles Tebay menyerukan agar pemerintah melakukan dialog dengan kelompok ini. (satuharapan.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah