-->

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura Idap Berbagai Masalah

ABEPURA (KOTA JAYAPURA) - Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura yang satu-satunya ada di Provinsi Papua ternyata menyimpan banyak masalah. Baik dalam managemen, kurangnya tenaga medis, kurangnya  peralatan di rumah sakit  dan belum dilantiknya Direktur Devinitif RSJ Abepura. Hal ini terungkap dari hasil Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi V DPR Papua, bidang Kesehatan dan Pendidikan ke RSJ Abepura, Kamis (5/3) kemarin.

Kunjungan Komisi V DPR Papua ke RSJ Abepura ini dipimpin oleh Ketua Komisi V, Yakoba Lokbere serta beberapa anggota diantaranya, Jaeck Kombo, Gerson Soma, Maria Duitau dan sejumlah staf Komisi.

“Di Rumah Sakit Jiwa Abepura ternyata kami  menemui banyak masalah yang terjadi disini. Pertama karena  memang sampai hari ini RSJ ini belum  ada seorang direktur devinitif, lalu managemennya kurang baik sehingga harus di rombak lagi, kurangnya dokter spesialis, tenaga medis  sementara pasien setiap harinya bertambah,  juga kurangnya alat-alat rumah sakit.  Jadi memang ini masukan yang sangat baik yang disampaikan oleh para pegawai yang ada disini, “ kata Anggota Komisi V DPR Papua, Jaeck Kombo mewakili Ketua Komisi V kepada sejumlah wartawan usai melakukan kunjungan, Kamis (5/3).

Dikatakan, memang keluhan mereka itu membutuhkan seorang direktur divinitif untuk bagaimana proses pelayanan di RSJ ini bisa berjalan dengan baik. Dan saya kira ini penting untuk menjadi perhatian kita semua, bahwa memang RSJ ini sudah seharusnya mempunyai direktur devinitif.

“Mereka juga menyampaikan bahwa ada beberapa pasien yang dari Papua Barat yang selama ini juga datang berobat disini. Jadi RSJ ini dia merawat pasien bukan saja untuk Provinsi Papua tapi juga Papua Barat. Oleh karena itu kami dari Komisi V  akan mencoba  melakukan komunikasi dengan pemerintah Papua Barat agar mereka juga punya perhatian terhadap masalah ini. Karena banyak pasien-pasien  dari  Papua Barat yang juga datang berobat  RSJ  yang ada di Provinsi Papua ini, “ ucapnya.

Jumlah pasien yang ada saat ini lanjut dia, ada sekitar 200-san sementara tenaga medis hanya berjumlah 121 orang, sehingga ini tidak berimbang.  Dan terkadang dokter dan para medis kewalahan dalam menangani pasien apalagi pasien tersebut kejiwaannya sudah kronis.

“Pasien yang kronis para medis harus ekstra hati-hati dalam merawatnya, karena pasien kronis seperti ini sering berontak dan melakukan pelemparan. Jadi kasihan juga para doketr  yang ada disini. Dan kami juga sangat kaget  karena jumlah pasien yang setiap datang ke polik ini setiap hari bisa mencapai 30-40 orang.

Menurutnya, ini sesuatu yang harus menjadi perhatian untuk kita semua.  Karena mereka ada diusia produktif  mulai dari usia 24-27 tahun. Sehingga perlu mendapat perhatian kami di DPRP maupun Pemerintah.

“Saya kira ini harus jadi perhatian kami di DPRP dan  pemerintah Provinsi Papua juga pemerintah Papua  Barat, karena sebagian pasien datang dari Papua Barat. Karena bekerja di RSJ ini resikonya sangat tinggi, “ ujarnya.

Disamping itu kata mantan pemain Persipura ini, apa yang menjadi prioritas utama di RSJ ini adalah mereka berharap agar Pemerintah menyediakan lokasi dan bisa memindahkan  masyarakat maupun para pegawai  yang masih tinggal di lingkungan RSJ, agar fasilitas RSJ lainnya dapat dibangun.

“Jadi mereka meminta  untuk bagaimana memindahkan rumah-rumah masyarakat dan pegawai ini ke lokasi  yang pemerintah sudah siapkan. Bagaimana mereka bisa membangun  fasilitas-fasiliitas yang baru kalau masih ada warga yang bermukim di sekitar lokasi RSJ, "ungkapnya.

Selain itu juga tambahnya, mereka membutuhkan dokter umum yang khusus dibidang kejiwaan ini, sehingga itu juga menjadi perhatian kita. Sehingga kami sarankan ke pemerintah, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Papua Barat supaya ini menjadi perhatian agar semua dapat berjalan dengan baik.

Sementara itu, SPKJ Psikiater Fungsional, Dr. Barend mengatakan, pemahaman keluarga tentang pentingnya kesehatan jiwa masih minim.  Kesehatan jiwa itu bukan suatu stigma dan bukan sesuatu yang buruk untuk keluarga.  Maka promosi itu penting sehingga keluarga itu bisa terbuka dan tahu tentang kesehatan jiwa.

“Karena terkadang keluarga itu malu sehingga si pasien tersebut disimpan di rumah,  karena rumah sakit jiwa identik dengan  “Gila”,  padahal sebenarnya tidak seperti itu  karena Gila itu adalah bahasa diskriminasi.  Jadi yang ada adalah gangguan kejiwaan. Sehingga diperlukan sentuhan dari pemerintah bahwa rumah sakit jiwa itu tidak stigma sehingga keluarga korban bisa mengerti, “ kata Dr. Barend. [PasifikPos]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah