8 Film dengan Latar Tanah Papua
pada tanggal
Thursday 14 May 2015
KOTA JAYAPURA - Lebih dari 50 tahun menjadi bagian dari Indonesia, Papua akhirnya mulai menggeliat. Tujuan wisatanya mulai diminati. Sosok-sosoknya pun mulai mendapat tempat di pemerintahan, bahkan juga di dunia hiburan.
Buktinya, salah satu parodi asli Papua sampai dibuatkan film sendiri di bioskop. Epen Cupen, film yang mengangkat keluguan Papua tayang di bioskop mulai hari ini, Rabu (13/5). Padahal mulanya itu hanya karya amatir di YouTube.
Belum tahu akan bagaimana kiprah Epen Cupen di layar lebar. Yang jelas, saat dipajang di YouTube, penontonnya mencapai jutaan orang. Mereka menikmati keluguan masyarakat Papua yang diparodikan dan dibungkus dengan seni.
Fenomena Epen Cupen membuat kita merasa perlu menengok ke belakang. Bagaimana wajah Papua di perfilman kita sebenarnya? Dari tahun 1970-an, ternyata baru tujuh film yang mengangkat kampung halaman burung cendrawasih nan indah itu.
Merangkum berbagai sumber, berikut delapan (8) film kita yang bangga berlatar tanah Papua.
Sesuatu yang Indah (1976)
Win Umboh memberi warna baru bagi perfilman Indonesia tahun 1976, saat membuat Sesuatu yang Indah. Di awal film, ia hanya menyuguhkan gambar kegiatan dua tokoh utamanya, Johanes (Roy Marten) dan Leo Mokodompis (Fadly).
Kedua kakak beradik itu bekerja sebagai pilot. Di siang hari mereka sibuk, di malam hari istirahat, terkadang bermain perempuan. Cerita akhirnya dimulai saat Leo memutuskan menikah dengan Ningrum (Marini), mantan pacar Jo.
Sementara Jo, terlibat cinta dengan Anna (Christine Hakim), seorang gadis diskotek. Kisah cinta mereka tak berujung saat Leo meninggal, dan Jo minta ditugaskan ke Papua karena sangat terpukul. Di sana ia kecelakaan, dan ditolong seorang gadis lokal eksotis.
Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2003)
Terinspirasi cerita pendek Sang Mahasiswa dan Sang Wanita yang ditulis Laslo Kamondy, film ini dirilis tahun 2003. Ceritanya tentang seorang remaja Papua bernama Arnold (Octavianus R. Muabuay) yang mengagumi kecantikan seorang gadis (Lulu Tobing).
Keduanya pertama bertemu di dermaga Papua. Arnold yang merupakan anak dari seorang aktivis pergerakan di Papua, terus mengikuti semua kegiatan si gadis. Sahabatnya, Sonya (Sonya S. Baransano) sampai cemburu dibuatnya.
Penguntitan Arnold berlatar pergolakan sosial dan politik di Papua. Ada korban sampai kebencian atas rasialisme yang disuguhkan. Namun, film tidak memberi akhir apa pun terhadap obsesi Arnold akan gadisnya.
Denias, Senandung di Atas Awan (2006)
Bisa dibilang ini film pertama yang menggugah masyarakat untuk ke Papua. Film garapan John de Rantau ini bukan hanya memiliki alur cerita yang kuat dan sangat humanis, tetapi juga menyuguhkan keindahan alam nan memsona.
Denias bahkan sempat masuk seleksi Piala Oscar tahun 2008. Film itu mengisahkan Denias, anak dari suku pedalaman Papua yang berhasrat tinggi untuk mengenyam pendidikan. Pada cerita nyatanya, anak itu bernama asli Janias.
Denias menempuh jalan panjang, berpanas-panasan, demi ke kota dan belajar di sekolah yang sama seperti anak dari keluarga mampu. Denias dihiasi wajah kondang seperti Ari Sihasale, Nia Zulkarnaen, Marcella Zalianty, Pevita Pearce, juga Mathias Muchus.
Lost in Papua (2011)
Suku pedalaman Papua terungkap kembali dalam. Lost in Papua mengisahkan Rangga (Edo Borne) dan tim yang ingin mencari titik penambangan di Papua. Mereka memasuki wilayah terlarang dan anggota tim hilang satu per satu.
Beberapa tahun kemudian, giliran Nadya (Fanny Fabriana), mantan tunangan Rangga, yang ke Papua karena tugas. Ia berangkat bersama David (Fauzy Baadillah), dan Kayla (Fahrani). Mereka mendapat amanah menyerahkan oleh-oleh untuk kepala suku Korowai yang dulu pernah berjasa.
Namun perjalanan itu tidak mudah. Sampai akhirnya, mereka bertemu dengan suku primitif yang semua penduduknya perempuan. Namun, ada sesuatu yang aneh dan besar tentang suku itu.
Di Timur Matahari (2012)
Ari Sihasale kembali ke Papua. Setelah Denias, kini ia membawa Lukman Sardi dan Laura Basuki ke Pulau Cendrawasih, syuting bersama anak-anak asli Papua. Di Timur Matahari bak harapan bagi anak-anak itu, yang di awal film menunggu kedatangan seorang guru yang mau mengajar.
Setelah enam bulan tak ada guru mengajar, Mazmur (Simson Sikoway) tak pernah lelah menunggu di sebuah lapangan terbang tua. Ia selalu berharap ada orang lain yang mau ganti mengajar dirinya dan teman-temannya. Ketika tak jua ada kabar, ia memutuskan menyanyi.
Kehidupan Mazmur dan kawan-kawannya yang damai itu terusik saat ayahnya terbunuh oleh ayah temannya. Perang suku pun tak terelakkan. Di akhir film, kepolosan anak-anak menjadi penyelamat saling bunuh di masyarakat Papua.
Cinta dari Wamena (2013)
Film garapan Lasja Fauzia Susatyo ini khusus tentang Papua. Cinta dari Wamena mengisahkan persahabatan tiga anak Papua, Litius (Maximus Itlay), Tembi (Benyamin Lagowan), dan Martha (Madonna Marrey). Mereka mulanya anak desa yang bermimpi bisa sekolah gratis di Wamena.
Namun ujian kemudian datang. Mereka dihadapkan pada gaya hidup yang bebas dan AIDS yang mewabah. Mimpi mereka tergerus. Ketiganya kini berbeda arah dan mencari jalan masing-masing.
Litius sendiri akhirnya sampai di Jakarta. Di sana, ia bertemu musisi yang diperankan Nicholas Saputra. Keduanya saling belajar dari pengalaman masing-masing. Litius pun mencoba mencari kembali persahabatannya yang dulu.
Tanah Mama (2015)
Merekam kehidupan Halosina, seorang ibu di Papua yang hidup di perkampungan ladang di lembah pedalaman Yahukimo, sekitar lima jam jalan kaki dari pinggiran kota Wamena. Perempuan yang dipanggil 'mama' itu harus berjuang menghidupi diri dan empat anaknya setelah suaminya kawin lagi.
Tanah ladang yang dibukakan oleh sang suami sudah tak subur lagi sehingga tak bisa ditanami. Namun, karena lebih memperhatikan istri keduanya, yang juga beranak banyak, maka Halosina tak bisa mengandalkan lelaki itu lagi untuk memberinya ladang.
Walhasil, di tengah himpitan kelaparan anak-anaknya, Halosina terpaksa mencuri ubi di ladang adik iparnya sendiri. Namun, ikatan kekeluargaan itu ternyata tak membuat Halosina terbebas dari hukuman. Pemilik ladang dan ketua adat tetap bersikeras bahwa Halosina harus membayar denda seharga satu ekor babi, atau sekitar Rp 500 ribu.
Tak punya uang sepeser pun, Halosina akhirnya kabur dari desanya, dan 'bersembunyi' di rumah saudaranya di kampung sebelah. Namun, ancaman denda terus mengejarnya, walau ia dengan gigih berupaya menempuh jalan damai dengan membujuk dan meminta maaf sang adik ipar.
Epen Cupen (2015)
Celo, yang sebelumnya membintangi pemain serial Epen Cupen di YouTube kini "naik kelas" ke layar lebar. Ia sebagai orang Papua asli, diperintahkan sang ayah mencari saudara kembarnya. Di tengah perjalanan, ia tak sengaja terangkut oleh pesawat ke Jakarta.
Celo harus berhadapan dengan geng pimpinan Stella (Marissa Nasution). Mereka menginginkan warisan saudara kembarnya. Bersama Babe (Babe Cabita), pemuda Medan yang terbelit masalah keuangan, Celo mencoba menyelamatkan diri.
Dalam Epen Cupen, Celo dan tokoh Papua lainnya beradu akting dengan artis kondang seperti Marissa Nasution dan Pierre Gruno. [CNN/Papuanesia]
Buktinya, salah satu parodi asli Papua sampai dibuatkan film sendiri di bioskop. Epen Cupen, film yang mengangkat keluguan Papua tayang di bioskop mulai hari ini, Rabu (13/5). Padahal mulanya itu hanya karya amatir di YouTube.
Belum tahu akan bagaimana kiprah Epen Cupen di layar lebar. Yang jelas, saat dipajang di YouTube, penontonnya mencapai jutaan orang. Mereka menikmati keluguan masyarakat Papua yang diparodikan dan dibungkus dengan seni.
Fenomena Epen Cupen membuat kita merasa perlu menengok ke belakang. Bagaimana wajah Papua di perfilman kita sebenarnya? Dari tahun 1970-an, ternyata baru tujuh film yang mengangkat kampung halaman burung cendrawasih nan indah itu.
Merangkum berbagai sumber, berikut delapan (8) film kita yang bangga berlatar tanah Papua.
Sesuatu yang Indah (1976)
Win Umboh memberi warna baru bagi perfilman Indonesia tahun 1976, saat membuat Sesuatu yang Indah. Di awal film, ia hanya menyuguhkan gambar kegiatan dua tokoh utamanya, Johanes (Roy Marten) dan Leo Mokodompis (Fadly).
Kedua kakak beradik itu bekerja sebagai pilot. Di siang hari mereka sibuk, di malam hari istirahat, terkadang bermain perempuan. Cerita akhirnya dimulai saat Leo memutuskan menikah dengan Ningrum (Marini), mantan pacar Jo.
Sementara Jo, terlibat cinta dengan Anna (Christine Hakim), seorang gadis diskotek. Kisah cinta mereka tak berujung saat Leo meninggal, dan Jo minta ditugaskan ke Papua karena sangat terpukul. Di sana ia kecelakaan, dan ditolong seorang gadis lokal eksotis.
Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2003)
Terinspirasi cerita pendek Sang Mahasiswa dan Sang Wanita yang ditulis Laslo Kamondy, film ini dirilis tahun 2003. Ceritanya tentang seorang remaja Papua bernama Arnold (Octavianus R. Muabuay) yang mengagumi kecantikan seorang gadis (Lulu Tobing).
Keduanya pertama bertemu di dermaga Papua. Arnold yang merupakan anak dari seorang aktivis pergerakan di Papua, terus mengikuti semua kegiatan si gadis. Sahabatnya, Sonya (Sonya S. Baransano) sampai cemburu dibuatnya.
Penguntitan Arnold berlatar pergolakan sosial dan politik di Papua. Ada korban sampai kebencian atas rasialisme yang disuguhkan. Namun, film tidak memberi akhir apa pun terhadap obsesi Arnold akan gadisnya.
Denias, Senandung di Atas Awan (2006)
Bisa dibilang ini film pertama yang menggugah masyarakat untuk ke Papua. Film garapan John de Rantau ini bukan hanya memiliki alur cerita yang kuat dan sangat humanis, tetapi juga menyuguhkan keindahan alam nan memsona.
Denias bahkan sempat masuk seleksi Piala Oscar tahun 2008. Film itu mengisahkan Denias, anak dari suku pedalaman Papua yang berhasrat tinggi untuk mengenyam pendidikan. Pada cerita nyatanya, anak itu bernama asli Janias.
Denias menempuh jalan panjang, berpanas-panasan, demi ke kota dan belajar di sekolah yang sama seperti anak dari keluarga mampu. Denias dihiasi wajah kondang seperti Ari Sihasale, Nia Zulkarnaen, Marcella Zalianty, Pevita Pearce, juga Mathias Muchus.
Lost in Papua (2011)
Suku pedalaman Papua terungkap kembali dalam. Lost in Papua mengisahkan Rangga (Edo Borne) dan tim yang ingin mencari titik penambangan di Papua. Mereka memasuki wilayah terlarang dan anggota tim hilang satu per satu.
Beberapa tahun kemudian, giliran Nadya (Fanny Fabriana), mantan tunangan Rangga, yang ke Papua karena tugas. Ia berangkat bersama David (Fauzy Baadillah), dan Kayla (Fahrani). Mereka mendapat amanah menyerahkan oleh-oleh untuk kepala suku Korowai yang dulu pernah berjasa.
Namun perjalanan itu tidak mudah. Sampai akhirnya, mereka bertemu dengan suku primitif yang semua penduduknya perempuan. Namun, ada sesuatu yang aneh dan besar tentang suku itu.
Di Timur Matahari (2012)
Ari Sihasale kembali ke Papua. Setelah Denias, kini ia membawa Lukman Sardi dan Laura Basuki ke Pulau Cendrawasih, syuting bersama anak-anak asli Papua. Di Timur Matahari bak harapan bagi anak-anak itu, yang di awal film menunggu kedatangan seorang guru yang mau mengajar.
Setelah enam bulan tak ada guru mengajar, Mazmur (Simson Sikoway) tak pernah lelah menunggu di sebuah lapangan terbang tua. Ia selalu berharap ada orang lain yang mau ganti mengajar dirinya dan teman-temannya. Ketika tak jua ada kabar, ia memutuskan menyanyi.
Kehidupan Mazmur dan kawan-kawannya yang damai itu terusik saat ayahnya terbunuh oleh ayah temannya. Perang suku pun tak terelakkan. Di akhir film, kepolosan anak-anak menjadi penyelamat saling bunuh di masyarakat Papua.
Cinta dari Wamena (2013)
Film garapan Lasja Fauzia Susatyo ini khusus tentang Papua. Cinta dari Wamena mengisahkan persahabatan tiga anak Papua, Litius (Maximus Itlay), Tembi (Benyamin Lagowan), dan Martha (Madonna Marrey). Mereka mulanya anak desa yang bermimpi bisa sekolah gratis di Wamena.
Namun ujian kemudian datang. Mereka dihadapkan pada gaya hidup yang bebas dan AIDS yang mewabah. Mimpi mereka tergerus. Ketiganya kini berbeda arah dan mencari jalan masing-masing.
Litius sendiri akhirnya sampai di Jakarta. Di sana, ia bertemu musisi yang diperankan Nicholas Saputra. Keduanya saling belajar dari pengalaman masing-masing. Litius pun mencoba mencari kembali persahabatannya yang dulu.
Tanah Mama (2015)
Merekam kehidupan Halosina, seorang ibu di Papua yang hidup di perkampungan ladang di lembah pedalaman Yahukimo, sekitar lima jam jalan kaki dari pinggiran kota Wamena. Perempuan yang dipanggil 'mama' itu harus berjuang menghidupi diri dan empat anaknya setelah suaminya kawin lagi.
Tanah ladang yang dibukakan oleh sang suami sudah tak subur lagi sehingga tak bisa ditanami. Namun, karena lebih memperhatikan istri keduanya, yang juga beranak banyak, maka Halosina tak bisa mengandalkan lelaki itu lagi untuk memberinya ladang.
Walhasil, di tengah himpitan kelaparan anak-anaknya, Halosina terpaksa mencuri ubi di ladang adik iparnya sendiri. Namun, ikatan kekeluargaan itu ternyata tak membuat Halosina terbebas dari hukuman. Pemilik ladang dan ketua adat tetap bersikeras bahwa Halosina harus membayar denda seharga satu ekor babi, atau sekitar Rp 500 ribu.
Tak punya uang sepeser pun, Halosina akhirnya kabur dari desanya, dan 'bersembunyi' di rumah saudaranya di kampung sebelah. Namun, ancaman denda terus mengejarnya, walau ia dengan gigih berupaya menempuh jalan damai dengan membujuk dan meminta maaf sang adik ipar.
Epen Cupen (2015)
Celo, yang sebelumnya membintangi pemain serial Epen Cupen di YouTube kini "naik kelas" ke layar lebar. Ia sebagai orang Papua asli, diperintahkan sang ayah mencari saudara kembarnya. Di tengah perjalanan, ia tak sengaja terangkut oleh pesawat ke Jakarta.
Celo harus berhadapan dengan geng pimpinan Stella (Marissa Nasution). Mereka menginginkan warisan saudara kembarnya. Bersama Babe (Babe Cabita), pemuda Medan yang terbelit masalah keuangan, Celo mencoba menyelamatkan diri.
Dalam Epen Cupen, Celo dan tokoh Papua lainnya beradu akting dengan artis kondang seperti Marissa Nasution dan Pierre Gruno. [CNN/Papuanesia]