-->

Film 'Tanah Mama' Batal Diputar di Festival Budaya Melanesia 2015

KOTA JAYAPURA - Film “Tanah Mama” yang direncanakan akan diputar dalam Festival Budaya Melanesia di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 26-30 Oktober 2015, dibatalkan oleh Asrida Elisabeth, sutradara film yang bercerita tentang perjuangan sehari-sehari perempuan wilayah Pegunungan Tengah Papua di Kurima, Kabupaten Yahukimo.

Kepada suarapapua.com, Asrida mengatakan, sebagai sutradara, ia sudah mengajukan keberatan kepada Kalyana Shira dan meminta dibatalkan pemutaran film “Tanah Mama” pada festival tersebut.

“Kalyana Shira menghargai alasan di balik keberatan ini dan sudah memutuskan untuk menarik film ini,” kata Asrida.

Menurutnya, film “Tanah Mama” rencananya akan diputar atas inisiatif dari Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang meminta kepada Kalyana Shira selaku produser film ini.

“Saya minta batalkan karena sebagai sutradara film dan sebagai bagian dari pekerja HAM di Tanah Papua, serta mempertimbangkan rumitnya persoalan Festival Melanesia itu dalam lingkaran politik, ekonomi, sosial budaya di Papua, Indonesia dan Pasifik saat ini,” tegasnya.

Asrida menyatakan tidak menginginkan film dokumenter “Tanah Mama” dipakai untuk dan dalam kerumitan persoalan itu dan tidak ingin film ini diputar sebagai perwakilan Papua.

Ia juga menilai Festival Melanesia di Kupang lebih merupakan proyek politik dan diplomasi Indonesia daripada sebuah acara kebudayaan.

“Festival Melanesia di Kupang adalah kelanjutan dari diterimanya Indonesia dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) di mana Indonesia diwakili oleh lima provinsi di Indonesia yaitu Papua, Papua, Barat, Maluku, Maluku Utara dan NTT yang kemudian dinamakan Melanesia Indonesia (Melindo),” kata Asrida.

Klaim Melindo itu, menurutnya, terasa mengada-ada dan memicu politik identitas yang berbahaya di Papua dan juga Indonesia bagian Timur.

“Masyarakat sipil di Tanah Papua juga melihat hal ini sebagai pengalihan isu di tengah upaya membangun solidaritas di wilayah Pasifik di mana identitas Melanesia menjadi dasar perjuangan untuk penghormatan, perlindungan dan pemberdayaan orang Papua.”

“Untuk orang NTT, Maluku dan Maluku Utara, identitas Melanesia ini seperti baru ‘diberikan’ negara,” tuturnya.

Hal kedua, sebut Asrida, festival ini memang akan terasa sangat politis dan dalam konteks Papua lebih menciptakan kontroversi daripada penghargaan terhadap orang Melanesia.

“Selain itu, bisa memicu penolakan elemen-elemen jaringan masyarakat sipil di Papua, di mana untuk dan bersama mereka saya bekerja,” tegas Asrida.

Film “Tanah Mama”, kata dia, sebenarnya memiliki pesan kepada pemerintah Indonesia untuk memerhatikan kondisi di Tanah Papua, baik hak-hak sipil politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

“Sejak film karya saya ini keluar dan disampaikan kepada pemerintah Indonesia, tidak ada usaha untuk memperbaiki situasi di pegunungan tengah Papua. Dalam konteks itu, memakai film “Tanah Mama” untuk diplomasi Melanesia adalah tidak tepat,” tegas Asrida.

Sebagaimana diberitakan di berbagai media, Indonesia untuk pertama kalinya menjadi tuan rumah penyelenggaraan Festival Budaya Melanesia di Kupang. Mengundang negara-negara anggota MSG, seperti Papua Nugini, Fiji, Kepulauan Salomon, Vanuatu, dan Keledonia Baru.

Dari Indonesia, bukan hanya provinsi Papua dan Papua Barat yang menegaskan identitas Melanesia, tetapi NTT, Maluku, Maluku Utara, yang oleh pemerintah diklaim juga merupakan bagian dari ras Melanesia yang kemudian disebut Melindo.

Tak hanya pemutaran film, dalam festival ini akan diadakan juga konferensi dan pertunjukan tari. [SuaraPapua]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah