-->

Indonesia dan PTFI Tidak Pernah Bahas Tuntutan ke Mahkamah Arbitrase Internasional

 
JAKARTA - Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Teguh Pamudji mengatakan pemerintah dan PT Freeport Indonesia tidak pernah membahas tuntutan ke Mahkamah Arbitrase Internasional jika belum ada kesepakatan selama 120 hari sejak 18 Februari 2017.

"Selama kami melakukan pembahasan dengan Freeport, 120 hari itu tidak pernah dibahas. Jadi, antara Freeport dan pemerintah sepakat untuk delapan bulan," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.

Teguh yang juga Ketua Tim Perundingan Pemerintah dengan Freeport menjelaskan pemerintah dan Freeport masih terus mencari jalan keluar atau solusi dalam kisruh status kontrak.

Ia menuturkan ada dua pendekatan yang dilakukan yakni penyelesaian jangka pendek dan jangka panjang. Untuk penyelesaian jangka pendek, yakni terkait kelangsungan operasi Freeport, telah disepakati dengan ditetapkannya IUPK yang bersifat sementara.

Ada pun untuk penyelesaian jangka panjang dengan merundingkan sejumlah hal diantaranya ketentuan terkait stabilitas investasi, keberlangsungan operasi Freeport, divestasi serta pembangunan smelter (fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral).

"Mulai minggu depan akan ada perundingan kedua untuk penyelesaian jangka panjang selama 8 bulan sejak 10 Februari dan berakhir 10 Oktober 2017. Kami masih punya waktu ke depan," katanya.

Kembali ke KK Tim perunding terdiri dari Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri serta pemerintah daerah di Papua.

"Setelah delapan bulan, kalau dia tidak terima hasil perundingan, atau katakanlah perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka dia (Freeport) bisa kembali ke KK (kontrak karya)sampai 2021, tapi tidak boleh ekspor," jelasnya.

Perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu sebelumnya mengaku akan menggugat pemerintah Indonesia jika belum juga mendapatkan keputusan negosiasi kontrak yang diperdebatkan.

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51 persen.

Namun, Freeport menilai KK tersebut tidak dapat diubah sepihak oleh pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

PTFI pada Jumat (17/2) telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan mengenai tindakan wanprestasi dan pelanggaran Kontrak Karya oleh pemerintah.

"Dalam surat itu ada waktu 120 hari di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase," kata Pesident dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Adkerson. (antara)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah