-->

Inilah Petikan Wawancara Sudirman Said Terkait Perpanjangan Kontrak PT. Freeport Indonesia

JAKARTA - Lahir di Brebes, Jawa Tengah, 16 April 1963, Sudirman Said sebelumnya adalah pendiri dan ketua Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia, staf ahli Direktur Utama PT Pertamina (Persero), dan Direktur Utama PT Pindad.

Benarkah Sudirman Said berpihak pada Amerika Serikat dalam urusan Freeport? Mengapa Sudirman ngotot memperpanjang kontrak PT Freeport? Apa alasan Menteri ESDM ini membubarkan Petral?

Dalam acara ”Satu Meja” yang ditayangkan Kompas TV, Selasa (3/11) lalu, kepada Budiman Tanuredjo, host acara yang juga Pemimpin Redaksi Harian Kompas, yang mewawancarainya, Sudirman Said blakblakan menyampaikan urusan perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia yang dinilai sudah diluar kewajaran.

Berikut petikannya:

Budiman Tanuredjo (Budiman):Anda dituding sebagai menteri keblinger karena terkesan ngotot memperpanjang kontrak PT Freeport, yang sebenarnya belum saatnya. Mengapa?

Sudirman Said (Sudirman):Saya kira kalau ada menteri yang memperpanjang, keblinger betulan. Karena saya tidak memperpanjang, bukan saya yang keblinger. Yang keblinger adalah orang yang bicara tanpa fakta, tanpa melihat dulu persoalannya, berteriak kiri kanan merusak situasi.

Jadi, saya santai saja menghadapi itu karena seperti yang dibaca di surat bahwa tidak ada keputusan perpanjangan kontrak, yang melanggar hukum, tidak ada beban saya adalah yang disebut sebagai keblinger itu.

Pengambilalihan PT Freeport bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan sumber daya negara yang tidak kecil, termasuk kemampuan biaya yang nilainya fantastis.

Di Freeport, saat ini terdapat sekitar 32.000 pekerja Indonesia. Selain itu, 92 persen PDB Kabupaten Timika datang dari Freeport dan 34 persen PDB Provinsi Papua juga dari Freeport. Setiap tahun 1,9 miliar dollar AS bisnis Freeport jatuh ke pebisnis Indonesia.

Jadi, ini tak ada kaitan dengan tekanan Amerika Serikat dan sogok-menyogok. Menurut saya, orang-orang berkata begitu, cerminan dari pikirannya sendiri. Mereka mengambil keputusan dengan cara menyogok.

Kesan bahwa saya ngotot itu hanya penafsiran. Dalam menangani setiap masalah, saya berusaha sungguh-sungguh dan itu memang karakter saya dalam bekerja. Apakah dalam urusan Freeport, urusan Petral, urusan kilang, kesungguhan saya sama.

Semua harus total karena saya menjalankan amanah. Saya tidak punya beban apa pun. Sejarah akan membuktikan apakah keputusan itu benar atau tidak.

Budiman:Ini, kan, berawal pertemuan James R Moffett (Chairman Freeport) di Istana Presiden pada 6 Oktober. Mas Dirman hadir di situ?

SudirmanSebenarnya itu hanya puncak. Sebelumnya sudah ada surat-menyurat, ada dialog. Moffett sebenarnya bertemu Presiden untuk kedua kalinya. Yang pertama pada bulan Mei dan yang kedua kemarin menjelang keputusan. Pertemuan itu hanya dihadiri oleh tiga orang, Presiden, James Moffett, dan saya selaku Menteri ESDM.

Pertemuan itu boleh dibilang hanya memberikan satu usulan, satu kepastian bahwa pemerintah bermaksud memperpanjang (kontrak), tetapi undang-undangnya belum memungkinkan. Karena itu, silakan dicari jalan keluar yang logikanya sederhana saja.

Indonesia sedang mengundang begitu banyak investor. Mengapa kita tidak mempertahankan investasi sedang berjalan, yang selama ini sudah memberikan keuntungan ekonomi? Bahwa ada aspek-aspek lain di luar, misalnya aspek hukum tadi, kita kelola,

Arahan Presiden sangat jelas bahwa secara strategi investasi, kita menginginkan investasi. Investasi siapa pun dan apa pun harus kita jaga supaya berlanjut. Freeport salah satunya. Jadi tidak ada perlakuan khas atau perlakuan istimewa sedikit pun terhadap Freeport.

Budiman:Apa persisnya arahan Presiden?

Sudirman:Yang saya dengar dari Presiden, lebih kurangnya begini, ”Pak James Moffett, Anda tahu Indonesia sedang membutuhkan investasi. Anda juga sudah percaya bahwa Indonesia akan mencari jalan bagaimana Freeport dapat meneruskan investasi di sini. Tetapi, Anda harap tahu bahwa hukumnya belum memungkinkan”.

Presiden juga menegur Moffett mengapa dia harus berkeliling ke banyak pihak padahal (hasilnya) belum tentu relevan dengan keputusan itu. Kalau memang Freeport mau berinvestasi, silakan berurusan dengan menteri dan nanti kami putuskan. Demikian kira-kira arahan Presiden kepada James Moffett.

Saya kira konsisten dengan apa yang saya katakan bulan November tahun lalu. Saya katakan kepada Pak Moffett, ”Anda datang ke sini, teman Anda banyak, dan teman Anda orang-orang berpengaruh, tetapi jangan pernah menggunakan pengaruh itu untuk menekan saya. Karena tak akan mempan. Saya akan bekerja independen, dengan apa yang saya punya, dan data-data yang saya miliki. Jadi, Anda gunakan siapa pun tak akan berpengaruh. Yang akan saya dengar adalah atasan saya.”

Budiman:(James Moffett) berkeliling ke siapa saja?

Sudirman:Saya tidak etis menyebutkan satu per satu, tetapi orang-orang yang secara politik punya pengaruh. Dan, di masa lalu memang begitu.

Modusnya, sesuatu yang dibicarakan, menggunakan political pressure sehingga kadang-kadang menteri ataupun dirjen di ESDM itu memutuskan sesudah mengadministrasikan keputusan, bukan mengambil keputusan.

Budiman:Bentuk tekanan politik yang dialami seperti apa?

Sudirman:Saya kira semuanya tahu bahwa Freeport adalah usaha yang sangat besar dan 1,9 miliar dollar AS itu spending yang standar setiap tahun yang mesti dibagi, dikeluarkan. Itu artinya ada uang yang lumayan besar. Para pihak yang selama ini berkepentingan dengan keberadaan Freeport sudah pasti berusaha mendapatkannya, itu yang paling minimal.

Tetapi, di luar itu kita punya cerita reputasi Freeport itu sangat panjang. Bahkan, kami lihat kontrak-kontrak yang sekarang ada di tangan, yang sekarang menjadi beban pemerintah.

Itu menjadi sangat menarik. Karena misalnya bagaimana mungkin ada pasal yang menyebutkan Freeport bisa meminta perpanjangan kapan saja dan pemerintah tidak bisa menunda apabila tidak ada hal-hal yang tidak masuk akal.

Dalam wawancara Budiman Tanuredjo dengan Presiden Joko Widodo terkait satu tahun pemerintahan, Presiden menegaskan, ”Jika kita menguasai produksi (Freeport), tetapi bagaimana dengan pemasarannya dengan jutaan ton? Apakah kita punya kemampuan? Jaringan kita? Membuat jaringan marketing seperti itu tidak gampang. Royalti untuk pemerintah harus meningkat dan pada posisi wajar. Hitung-hitungannya belum diberikan kementerian. Tetapi, jangan kita diatur-atur. Kita yang harus mengatur.”

Budiman:Freeport beroperasi sejak 1967. Siapa yang banyak mendapatkan rezeki dari Freeport yang selama 48 tahun masih bercokol di Indonesia?

Sudirman:Lihat normanya dulu. Normanya kan (dari) setiap usaha itu yang mendapat benefit pertama-tama adalah masyarakat sekitar. Sebab, di sana ada lapangan kerja, ada bisnis ikutan, ada pajak, ada industri, dan macam-macam.

Lalu, orang bicara berapa yang dikeruk pihak Amerika. Itu, kan, konsekuensi dari perjanjian apa pun. Makin kuat kita menulis perjanjian dengan pihak kontraktor dan developer, Indonesia makin mendapatkan banyak. Tetapi, kan, situasi sekarang itu merupakan hasil kontrak yang dibuat di masa lalu.

Tugas kita adalah bagaimana meluruskan atau memaksimalkan benefit ke depan. Karena itu, proses negosiasi diatur untuk mendapatkan benefit. Misalnya kita ingin sebagian wilayah dilepas dan kita mendapatkan itu.

Dari 200.000 hektar, sebanyak 120.000 hektar kita ambil alih kembali. Kemudian tadi Pak Presiden mengatakan konten lokal. Kita ingin setiap tahun konten lokalnya naik.

Budiman:Sekarang posisinya bagaimana?

Sudirman:Sekarang sudah 70 persen dan kalau jasa lebih tinggi. Akan tetapi, kita ingin (itu) semakin ditingkatkan. Dalam keadaan normal, di mana produksinya semakin meningkat, di masa lalu kita bisa mendapatkan Rp 12 triliun setahun, dari pajak, royalti, dan lainnya. Sekarang (nilainya) mungkin separuh akibat produksi turun dan harga juga turun.

Ke depan, Menteri Keuangan memberikan suatu panduan: harus lebih tinggi dari selama ini diterima sebelumnya. Lalu, benefit yang sifatnya infrastruktur, seperti pengelolaan bandara, infrastruktur segala macam, itu juga.

Yang di luar normal adalah yang disebut pemburu rente. Soal pemburu rente itu, saya sudah berdialog dengan Pak Moffett. ”Saya bilang, Anda tidak bisa lagi terus-menerus berkeliling.” Moffett akhirnya bercerita pengalaman-pengalamannya di masa lalu tentang menteri anu minta apa. Ada yang meminta saham kosong meskipun tidak selalu diberi, tapi percobaan itu ada.

Dan, sekarang yang terjadi, Freeport dihubungi beberapa tokoh politik yang sangat berkuasa, sangat punya pengaruh, dan mengatakan ”Hanya kami yang bisa menyelesaikan,” tetapi mereka menjual nama presiden, seolah-olah presiden minta saham kosong. Wapres juga dijual namanya. Saya sudah laporkan kepada keduanya. Beliau-beliau marah karena tak mungkin mereka melakukan itu.

Budiman:Kok seberani itu? Dari partai politik yang berkuasa atau…

Sudirman:Saya tidak bisa menyebut, tetapi orang itu dikenal. Dan, saya berani mengatakan karena terjadi dua kali diskusi dan (dia/mereka) dua kali konsisten mengatakan, ”Saya bisa membantu Anda, tetapi dengan syarat tadi, berilah saham.” Mereka bahkan meminta proyek pembangkit listrik di Timika, meminta saham kosong, dan dengan itulah mereka menjanjikan itu bisa di-settle.

Saya bersyukur karena proses ini tidak terjadi sehingga Indonesia tidak dipermalukan. Dan, akhirnya proses ini melalui jalur yang normal di mana sektor menjadi pengambil keputusan dan Presiden memutuskan sendiri tanpa harus melalui deal semacam itu.

Budiman:Si politisi itu datang sendiri ke James Moffett?

Sudirman:(Dia) memanggil pihak Freeport Indonesia. Tetapi, pesan itu sampai pada (Freeport) internasional. Dan, sesekali Pak Moffett jalan ke sini. Jadi, mereka berinteraksi juga.

Budiman:Kok politisi itu punya akses sampai bisa tembus pada Freeport Indonesia?

Sudirman:Saya kira, secara psikologi, Freeport yang sedang membutuhkan kepastian, begitu dipanggil siapa pun yang merasa bisa berpengaruh, pasti akan langsung merespons. Dan, sejarahnya selalu begitu.

Sejarahnya adalah betapa banyak tangan-tangan yang terlibat dan keputusan itu tidak dibuat secara independen, tetapi melalui proses politik yang tidak transparan. Ini yang saya coba luruskan, bahwa proses keputusan, ya, begini. Tak ada dealing-dealing di baliknya. Itu yang membuat spekulasi besar. Kalau sampai keluar surat seperti itu, pasti di baliknya ada sesuatu.

Budiman:Ketika Mas Dirman melaporkan bahwa ada politisi yang cukup berpengaruh dan bertemu dengan Freeport Indonesia dan meminta saham untuk Presiden dan Wakil Presiden, apa reaksi yang muncul dari Presiden dan Wakil Presiden?

Sudirman:Keduanya sangat marah. Pak Jokowi mengatakan, ”Ora sudi”. Ora sudi, kan, ungkapan Jawa yang sangat dalam. ”Enak saja,” dalam bahasa kita.

Begitupun Wakil Presiden. ”Ini orang kurang ajar dan saya tahu orang itu siapa,” kata Wapres. Jadi, Wapres sudah menduga. Saya kira karena keduanya betul-betul menjaga kelurusan, tugas kami sebagai pelaksana menjadi lebih enteng.

Budiman:Lalu, bagaimana reaksi Freeport itu sendiri ketika ada permintaan dari politisi?

Sudirman:Sejak November 2014, saya sudah wanti-wanti Freeport, ”Silakan Anda berhubungan dengan siapa pun, tetapi setiap kali bertemu dan ada diskusi apa pun, saya dilapori supaya saya bisa menjaga proses ini dari intervensi.” Freeport menceritakan kepada saya, siapa minta apa. Saya tahu semua, termasuk hal-hal yang di masa lalu terjadi.

Budiman:Siapa minta apa? Masing-masing yang meminta itu sudah ada datanya semua?

Sudirman:Sebagai suatu diskusi, iya.

Budiman:Kalau kita lihat landasan konstitusional Pasal 33, bumi dan air dikuasai negara, realitas sosiologis bahwa bisnis sampingan Freeport dikelola oleh perusahaan-perusahaan nasional. Soal sumber daya manusia di Freeport, sebenarnya banyak sekali tenaga kerja Indonesia dibandingkan ekspat. Mengapa Anda tidak berpikir untuk mengambil alih Freeport sehingga Indonesia mengontrol penuh? Apa untung ruginya?

Sudirman:Ini sebenarnya cara bijak kita menafsirkan ”dikuasai negara” itu seperti apa? Saya berpendapat, belum tentu lho kontrol saham itu diterjemahkan dengan ”penguasaan”. Karena ”dikuasai” itu menurut saya value creation. Seberapa besar nilai yang bisa diterima Indonesia.

Jadi, sepanjang pekerja orang Indonesia, bisnis yang mendukung bisnis Indonesia, skill yang berkembang dikuasai orang Indonesia, sebetulnya de facto kita menguasai itu.

Pertanyaannya, mengapa tidak dikontrol sepenuhnya? Menurut saya, itu soal waktu. Karena begini, umpamanya sekarang mengikuti jalan pikiran yang sangat simpel, tahun 2021 (Freeport) tutup saja. Artinya, kita perlu tiga tahun untuk membuat aset-aset itu dibersihkan oleh Freeport atau operator lama, dan perlu tiga tahun lagi untuk di-install kembali.

Nah, di bawah tanah itu ada 500 kilometer terowongan, tempat bekerja. Apabila dilepas dengan cara-cara yang tidak terencana, mungkin akan menimbulkan risiko bagi operator berikutnya. Enam tahun itu perekonomian Provinsi Papua dan Kabupaten Timika akan drop. Dan, 30.000 orang akan menganggur. PDB Timika akan habis. Jadi, berpikir emosional dengan di-take-over dengan cara yang tidak bersahabat itu sebenarnya tidak tepat.

Bagaimana caranya? Menurut saya, tahapannya sudah jelas, akan ada divestasi saham 20 persen. Kalau sahamnya pelan-pelan kita kuasai, syukur-syukur bisa dipercepat, lama-lama, kan, manajemennya bisa sama-sama ”dikuasai”.

Budiman:Divestasi melalui IPO?

Sudirman:Ada tiga kemungkinan. Pertama, kalau pemerintah mengambil alih, tentu ada evaluasi. Tetapi, kemudian bisa juga lewat penawaran saham perdana kepada publik (IPO).

Sejauh ini kita berpikir IPO itu cara yang baik karena mendinamiskan pasar modal. Tetapi, setelah saham itu kita kuasai dengan secara friendly, transisi akan lebih smooth.

Itulah masa yang kita bisa sebut ”mengontrol”. Dan, menurut saya, best practice seperti itu. Tapi, kalau ”deal” diputus, mereka diusir, itu tidak bijaksana.

Budiman:Apa keuntungan bagi Papua dengan eksistensi Freeport di sana?

Sudirman:Aliran uang lewat PDB, lewat ekonomi, itu jelas. Dengan segala kritik pada situasi Timika sekarang yang belum juga maju, Anda bisa bayangkan bagaimana Timika dan Papua apabila tanpa operasi perusahaan itu.

Saya kira lalu lintas orang, lalu lintas barang dan jasa, bagaimanapun berpengaruh pada situasi di Timika dan Papua. Dan, sekarang sedang ada pembangunan fasilitas Pekan Olahraga Nasional yang sepenuhnya di-support oleh PT Freeport.  [Kompas]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah