-->

Perlunya Redefinisi Manajemen Kehadiran Inpex Masela di Maluku

Perlunya Redefinisi Manajemen Kehadiran Inpex Masela di MalukuStudi literer Lembaga Riset Universitas Pattimura Ambon dan sejumlah perguruan tinggi di Maluku telah menguatkan keberanian presiden Joko Widodo, mengambil sikap terhadap bagaimana rencana awal offshore yang pada akhirnya diputuskan menjadi onshore kehadiran Blok Masela bagi rakyat Maluku.

Keberpihakan ini merupakan strategi redefinisi tujuan pembangunan nasional yang bukan hanya mencapai sebuah masyarakat moderen dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi terlebih bagaimana redefinisi dimaksud membawa manusia Indonesia secara menyeluruh dan masyarakat Maluku secara khusus hidup layaknya sebagai manusia yang bermartabat di atas tanah leluhurnya.

Rumusan-rumusan strategi pembangunan nasional dari masa ke masa, dari presiden ke presiden memimpin negeri ini, tidak jarang begitu indahnya rumusan kata-kata utopis yang indah dan enak dicerna kaum elit anak bangsa, yang tidak jarang pula melupakan kondisi riil masyarakat kampung yang hanya bisa mendapatkan apa adanya untuk hidup hari ini.

Keputusan pemerintah Joko Widodo pada akhirnya menempatkan manusia Maluku pada subjek pembangunan, sebagai subjek pula yang kiranya menikmati  dan mewarisi hasil-hasi kehadiran Blok Masela bagi sebesar besarnya kesejahteraan mereka. Demikian redefinisi itu, memiliki makna strategis bagi partisipasi masyarakat Maluku yang adalah masyarakat adat pemilik hak ulayat.

Mengapa Redefinisi Perlu?

Manusia dan kelompok penduduk asli di Provinsi Maluku  merupakan bagian yang sama pentingnya dengan manusia  dan masyarakat Indonesia lainnya. Kesungguhan pemerintah memutuskan Skema OnShore sejatinya menjadi dasar pemikiran utama hakekat manusia Maluku ditempatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraannya.

Penghargaan dan komitmen pemerintah menempatkan seluruh skenario pada skema OnShore adalah sebuah visi baru dengan belajar dari sejarah masa lalu yang tidak edukatif bagi rakyat yang sejak jaman dahulu kala hidup dan tinggal menyatu dengan alam pemberi kehidupan bagi generasi ke generasi di Maluku.

Para pemikir yang adalah akademisi di Maluku maupun kaum praktisi telah melihat sebuah fenomena awal keputusan skema OffShore sebagai sebuah alienasi kepentingan rakyat Maluku di tengah-tengah kepentingan nasional dan dunia internasional.

Sebuah contoh kecil, di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, politisi yang adalah mantan Ketua DPR RI, Setia Novanto telah membeli sejumlah area tanah milik masyarakat adat di desa Lermatan kecamatan Tanimbar Selatan, dengan sebuah prediksi ekonomis tentunya, bahwa kehadiran Blok Masela akan meraup keuntungan luar biasa jika tanah dibeli dengan harga murah, dan dijual ke perusahaan dengan harga yang tinggi.

Jika seorang Ketua DPR RI telah memiliki pola pikir sejauh itu, bagaimana dengan rakyat yang tak berpendidikan tinggi, harus dibodohi demi kepentingan politis? Kasihan rakyat!!! Kepentingan spekulatif pemilik kepentingan selalu saja menjadi momok bagi bagaimana sebuah visi “Kesejahteraan Untuk Rakyat” diwujudkan pemerintah melalui kehadiran Blok Masela di tengah Masyarakat Maluku bagi peruwudan kemanusiaannya. Atas dasar itulah redefinisi implementasi sebuah kebijakan wajib tumbuh dari rakyat pemilik hak ulayat.

Belajar Dari Pengalaman

Pengalaman puluhan tahun di Papua, sejak pemerintahan Orde Baru yang sentralistik membawa kesengsaraan luar biasa bagi pemilik hak ulayat orang Papua. Freeport bagaikan lumbung emas dan tembaga di tengah-tengah pemiliknya yang mengalami kesulitan hidup.

Trilogi pembangunan sebagai strategi nasional dengan pertumbuhan  sebagai panglima, hanya mengejar target kuantitatif. Dampak yang ditimbulkan adalah alat-alat produksi dan kekayaan sumber daya yang dimiliki  tidak dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat pemiliknya.

Fakta membuktikan, harga diri dirasakan termaginalisasi dari kaum bangsanya sendiri. Kehidupan kaum urban lebih mencolok dengan keahlian dan ketrampilan yang dimiliki, dan mereka yang memaknai folosofi “Bumi” sebagai “Ibu” bagi kehidupannya justeru terabaikan.

Orang asli Papua tidak hanya merasakan perlakuan yang tidak adil, tidak manusiawi tetapi lebih dari itu hak-hak dasarnya sebagai manusia ciptaan Tuhan  dan hak kewarga-negaraannya tidak dihormati, bahkan  hak azasinya dilanggar. Orang Papua  merasa terpinggirkan dan dirinya diperlakukan  sebagai “Warga Negara Kelas Dua”. Masyarakaat di daerah pedalaman dan lokasi permukiman atau kampung terpencil hampir tidak tersentuh program dan proyek pembangunan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sendiri dan perusahaan Freeport.

Reformasi membuka cakrawala berpikir masyarakat adat Papua. Kran keterbukaan menyampaikan pendapat menjadi peluang masyarakat adat berbicara. Tuntutan ketidakpuasan dan kekecewaan  dalam bentuk protes keras kepada pemerintah pusat atas pengalaman buruk yang dialami sejak bergabung dengan NKRI. Sebagai manifestasi dari protes dan tuntutannya, “ASPIRASI MEREDEKA”  di seantero tanah Papua melalui institusi adat dan pemimpin masyarakat adat dengan lahirnya “KONGRES PAPUA II” di tahun 2000 dan “Musyawarah Besar Adat Papua” di tahun 2002 untuk menolak Otonomi Khusus Papua, (Cfr. Paulus Laratmase, “Ketika Otonomi Ditolak, Merdeka Jadi Pilihan”, Tifa Papua, Juli 2002). Demikianlah UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua menjadi jawaban dan solusi tuntutan masyarakat adat terhadap kondisi faktual yang dialami sejak bergabung dengan NKRI.

Coorporate Social Responsibility (CSR)

Kondisi konflik yang berkepanjangan dengan jatuh korban jiwa, materi bahkan korban psikologis yang tidak bisa dinilai telah terjadi di Papua sepanjang bergabung dengan NKRI. Lahirnya UU 21 Tahu 2001, NGO lokal, nasional bahkan internasional melakukan pendekatan-pendekatan partisipatif dalam rangka meminimalisir konflik, bahkan melakukan pekerjaan coorporate social responsibility yang diberikan perusahaan yang sejak beroperasi sudah dilakukan namun melalui pendekatan yang salah sehingga apapun bantuan  yang diberikan tidak efektif dan efisien. Di sanalah NGO lokal mejadi penting bagi kehadirian perusahaan yang selama kehadirannya tidak pernah dibutuhkan bahkan teralienasi juga seperti halnya masyarakat adat pemilik hak ulayat.

Gambaran faktual Papua dan karakteristik konfliknya, kiranya menjadi sebuah pelajaran berharga. Blok Masela dengan kontraktornya Inpex sejak penandatanganan kontrak pada tahun 1998, baru beberapa tahun terakhir melakukan pendekatan terhadap masyarakat lokal melalui program-program kepedulian sosialnya. Sejak pemerintah menandataangani kontrak dengan skema offshore sampai pada onshore, Inpex tetap melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat melalui aktifitas-aktifitas yang positif.

Potensi-potensi konflik vertikal-horisontal menyertai progres report kehadiran perusahaan yang diharapkan menyerap tenaga kerja lokal anak-anak Maluku pemilik hak ulayat. Demikian mimpi sebagai sebuah harapan besar kaum akademisi dan praktisi, pemerintah provinsiatas, kabupaten/ kota atas nama kaum termarginal  memperjuangkan dari skema offshore ke onshore. Adalah sebuah kemajuan yang selama ini dibina dan dijalin sebuah relasi yang baik antara semua unsur actual entities yang memiliki kepentingan baik pemerintah pusat, daerah bahkan masyarakat adat yang kelak merasakan hadirnya perusahaan sebagai bagian dari jalan keluar mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya.

Donny Rijaluddin, Specialist Soial Investment Communicatiaon and Relations Deperatement Inpex Masela yang saya kenal, beberapa kali telah memberikan penguatan kapasitas (capacity building) masyarakat adat melalui palatihan rumput laut, bercocok tanam, kelompok pengrajin kain ikat adalah bagian terkecil dari sebuah pendekatan coorporate social responsibility terhadap masyarakat adat, sebuah pendekatan bagaimana melihat hadirnya “Manusia Maluku sebagai Manusia” Yang dimanusiawikan dari apa yang dimilikinya yaitu pemilik sumber daya alam, sebuah pendekatan yang harus ditingkatkan, bahkan perlu parameter yang menjadi acuan sejauh mana secara ekonomis dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat adat itu sendiri.

Konklusi

Redefinisi dimaknai sebagai All of Actual Entities. Inpex Masela sebuah perusahaan kontraktor minyak dan gas di wilayah Maluku, sebuah ladang minyak abadi telah diperjuangkan kaum intelektualnya dari OffShore ke OnShore. Mengapa mereka memperjuangkan? Karena sejak awal mereka diabaikan sebagai pemilik hak ulayat. All of Actual Entities adalah seluruh komponen yang membentuk sebuah kesatuan sebuah subtansi.

Meredefinisi kesalahan makna implementatif kebijakan selama ini oleh pengambil kebijakan, atau pihak perusahaan kiranya sejak dini juga mulai berpikir, sebuah pendekatan holistik terhadapa seluruh komponen melalalui program-program yang “memanusiawikan manusi”  termasuk kaum termarginal dan kaum intelektual. Semoga pengalaman sejarah masa lalu Papua, tidak terulang di Maluku karena salah melakukan pendekatan bagaimana “memanusiawikan manusia Maluku”.

Oleh : Paulus Laratmase
Direktur Eksekutif LSM Santa Lusia,






















Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah