-->

Jayapura, Kota Seribu Pinang

KOTA JAYAPURA  -  Ada banyak sebutan untuk Kota Jayapura karena keindahan alam dan letak geografisnya. Tetapi sebutan Kota Seribu Pinang, belum pernah didengar publik.

Jika kita menepi sejenak dari penatnya aktivitas harian, kita berteduh dan bergurau di bawah pepohonan sambil makan pinang, pinang sajian mama-mama Papua yang berjejer di tepi jalan yang mereka jual bersama patatas, keladi, sayur-sayuran dan ikan.

Sembari melihat lekukan-lekukan garis pantai Samudera Pasifik, makan pinang mungkin menambah inspirasi dan rekreasi, terutama jika merefleksikan nilai sosial dan budaya. Budaya Papua yang sangat kental dengan kerbersamaan dan kekeluargaan dalam segala hal.

Di tepi jalan, di kota ini barangkali tak dijumpai pohon pinang. Namun pinang selalu ada, tersedia, dan tersaji di setiap stan dan lapak di tepi kota, lorong, gang, hingga di depan pusat perbelanjaan Ramayana dan Saga Mall Abepura.

Pinang lumrah tumbuh di kawasan Pasifik dan bagian Timur Indonesia, semisal Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Betel Palm atau dalam nama ilmiahnya Areca Catechu terdapat di sekitar Kabupaten Jayapura dan kota Jayapura. Lebih tepatnya sekitar wilayah Abepura Pantai, garis pantai Holtekamp yang menatap Samudera Pasifik.

Di kaki Pegunungan Cycloop, tepatnya di sekitar kawasan Kamp Wolker, Waena, Kota Jayapura  juga terdapat deretan pohon pinang. Bila kita menuju Ke kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) di Waena, sejumlah pohon pinang seakan malu menunjukkan pucuknya di sebelah utara Kali Kamp Wolker.

Di pintu masuk Kampus Uncen-Abepura, kita menjumpai mama-mama asli Papua yang duduk berjejer menjual pinang bersama noken, kalung, dan sayur-sayuran. Mereka dengan santai duduk dan menunggu para peminat pinang yang datang untuk membeli, di sekitar RSUD Abepura dan RSUD Dok II juga dijumpai pemandangan yang sama.

Di beranda pusat perbelanjaan Saga Mall, Jalan Raya Sentani, Abepura, juga ditemui sejumlah ibu dan anak-anak duduk rapi menunggu di depan stannya sambil makan pinang. Mereka nyaris bersaing dengan pusat perbelanjaan modern tersebut. Tak hanya itu, di tengah lalu-lalang dan hiru-pikuknya warga Abepura yang berbelanja, sejumlah pedagang menengah lainnya memadati beranda Saga Mall.

Pinang semacam penyejuk dahaga bagi penikmat dan penjaga tradisi mengunyah sirih pinang. Bila para musafir di Timur Tengah zaman klasik menemukan air pada oase, tidak salah jika salah satu kelebihan pinang juga seperti itu. Betapa tidak, setiap mahasiswa yang pulang kuliah atau PNS yang melintasi jalan di kota ini, pasti membeli pinang, bahkan ada yang lebih memilih makan pinang dari pada merokok, sambil jalan pun, dengan asyiknya mereka mengunyah pinang.

”Lebih baik makan pinang daripada saya merokok,” kata Arnold, salah satu mahasiswa asal Pegunungan Tengah. Sejumlah Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) di Padang Bulan, Kota Jayapura kerap membuat jus pinang ketika melakukan Kuliah Praktek Kewirausahaan (KWU) menjelang akhir kuliahnya, tak sedikit yang membeli pada saat bazarnya di areal kampus ini.

Sebenarnya, di kota ini tak ada konflik bila memakan pinang, stress dan masalah lainnya hilang seketika Sambil mengunyah, sejumlah warga duduk bersama, sambil bercerita dan berkisah tentang pengalaman masing-masing. Bahkan sambil berjalan kaki pun, pinang menjadi semacam teman bicara.

Para penduduk migran juga merasakan indahnya kebersamaan dalam memakan pinang. Paling tidak, beradaptasi dengan penduduk asli Papua, yang sejak lama menganut tradisi ini, entah pertukaran informasi, perbincangan soal kehidupan sosial, politik, dan budaya juga terjadi saat makan pinang,  juga pertukaran gagasan.

Seperti di Aceh dan di Pulau Jawa, setiap warga kerap menjadikan warung kopi sebagai tempat berdiskusi, sharing pengalaman, dan pembicaraan lainnya. Begitu juga di saat warga Papua duduk bersama dan memakan pinang di Kota Jayapura, warung pinang kerap djadikan semacam tempat pertemuan untuk membicarakan banyak hal dalam suasana santai.

”Kami juga makan saat tidak kuliah, dan saat diskusi dengan teman-teman,”kata Maria Kleopas, Mahasiswi Program Studi Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Uncen.

Lain halnya dengan Mateus, mahasiswa lainnya, bagi dia, tradisi makan pinang adalah saat semacam reuni dengan teman-teman dan keluarga, artinya, bila duduk bersama, melingkar, sambil bercerita dalam suasana canda dan tawa sambil mengunyah pinang, pinang semacam pelekat dan perekat suasana.

Secara medis, pinang mengandung zat untuk menguatkan gigi. Pinang juga mengobati berbagai pernyakit misalnya, kanker, jantung, sakit pinggang, cacingan dan mengantisipasi  sakit gigi.

Dalam kultur Papua, makan pinang dilakukan sejak Bangsa Melanesia menginjakkan kaki di sekitar kawasan pasifik yang membentang sepanjang Papua, Papua New Guinea (PNG), Vanuatu, dan Negara-negara sekitarnya. Sirih pinang juga dijadikan semacam pengantar saat pertemuan adat kedua keluarga, keluarga mempelai yang ingin memadu hidup bersama. [TabloidJubi]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah