-->

Mansorandak, Tradisi Unik Menjaga Ikatan Persaudaraan

MANOKWARI - Masyarakat suku Biak di teluk Doreri di Provinsi Papua Barat,memiliki tradisi unik dalam  menjaga ikatan persaudaraan dengan seluruh anggota keluarga maupun kerabat dekat mereka.

Setiap salah satu dari keluarga ataupun kerabat yang baru pulang dari tanah rantau  dalam kurun waktu lama, akan dilakukan ritual khusus untuk mensyukuri kembalinya anggota keluarga tersebut. Dalam bahasa orang Biak, ritual penyambutan itu bernama Mansorandak.

Secara filosofis, ritual ini adalah ungkapan suka cita karena salah satu sanak keluarga yang telah lama  pergi, misalnya saja merantau, kini telah pulang dan berkumpul kembali bersama seluruh keluarga besar di kampung halaman tercinta.

Ritual ini,  juga untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, karena keluarga yang baru pulang berada dalam keadaan sehat.

Namun, sebagaimana ritual adat pada umumnya, Mansorandak pun menyelipkan dimensi mistik di dalamnya. Sebelum masuk rumah, anggota keluarga yang baru pulang harus melalui serangkaian prosesi, diantaranya mandi kembang berbagai rupa.

Melalui prosesi mandi kembang yang ditaruh dalam wadah piring adat, diharapkan sang saudara yang baru pulang, akan terbebas dari roh-roh jahat yang mungkin saja ditanam atau dikirim oleh oleh orang-orang yang tidak senang terhadapnya di tempat perantauan.

“Mungkin saja di tempat yang dia pergi ada iklim-iklim (gaib) yang bertentangan, kita pakai upacara adat ini untuk usir, supaya tidak bikin anggota keluarga kita susah atau menghalangi jalannya di sini,” ujar sesepuh masyarakat Doreri Manokwari, Elly Rumbekwan saat upacara Mansorandak di salah satu kediaman warga Dorerih di Pasir Putih Manokwari.

Ritual Mansorandak secara umum terbagi dalam 3 bagian, pertama prosesi penyambutan yang dilakukan di luar rumah. Pada bagian ini, anggota keluarga yang baru tiba, disambut oleh beberapa orang tua, bisa laki-laki maupun perempuan, untuk kemudian diantar ke pintu masuk, dimana telah menunggu seluruh keluarga besar.

Selanjutnya anggota keluarga yang baru tiba dimandikan dengan air kembang yang ditaruh dalam piring adat berukuran besar. Dari situ, dimulai bagian kedua yakni prosesi mengitari piring adat dan injak ‘buaya’. Di sini, orang yang baru datang  digiring masuk ke sebuah ruangan khusus. Dalam ruangan itu  sudah ditempatkan 9 buah piring adat mulai dari ukuran kecil hingga ukuran terbesar.

Pada bagian kepala dari deretan piring itu, terbaring seekor buaya. Namun jangan kaget dulu, buaya yang ada di situ adalah buaya buatan dari tanah. Prosesi dimulai dengan menyiramkan air ke kaki anggota keluarga yang baru datang, sebagai tanda yang bersangkutan telah bebas dari pengaruh-pengaruh gaib.

Setelah itu, dia bersama seluruh anggota keluarga lainnya melakukan prosesi mengitari piring adat sebanyak 9 kali. Angka 9 baik pada jumlah piring adat maupun jumlah putaran yang harus dilalui melambangkan jumlah marga (keret) dalam masyarakat suku Doreri.

“Kami suku Doreri ada 9 keret, yaitu Rumakei, Rumbekwan, Rumadas, Rumbruren, Rumbobiar, Rumaraken, Rumfabe, Syobiar dan Burwos,”terang sesepuh Elli Rumbekwan.

Ritual mengitari piring adat ini, diakhiri dengan acara injak ‘buaya’ oleh sang anggota keluarga yang baru datang. Hewan Buaya sebagai binatang buas yang bertubuh besar dan kuat melambangkan tantangan, penderitaan dan cobaan hidup yang akan menyertai jalan hidup kerabat mereka yang baru datang itu.

“Agar dia selamat dan tidak mendapat halangan dalam jalan hidupnya, dia harus injak buaya ini supaya semua tantangan dan halangan itu matidan hilang, “ tutur Elli Rumbekwan lagi.   

Bagian ketiga yang merupakan bagian terakhir adalah prosesi makan bersama. Prosesi makan bersama ini pun memiliki ciri khas sendiri karena  makanan yang menjadi hidangan utama, seluruhnya  digantung menggunakan tali di bagian atas rumah.

Makanan yang tersedia pun beragam mulai dari ketupat, daging, ikan hingga pinang digantung secara berjejer di langit-langit ruangan. Setelah mendapat hitungan ketiga dari salah seorang sesepuh, semua orang yang ada di dalam ruangan bebas mengambil makanan yang telah tergantung. Suasana pun jadi penuh canda tawa karena semua orang berebutan mengambil makanan, yang kemudian dimakan bersama-sama.

Elli Rumbekwan mengakui, di jaman modern ini ritual Mansorandak sudah jarang dilakukan meski pada kelompok-kelompok tertentu masih sering dipraktekkan. Dia sendiri bertekad tradisi warisan leluhur itu terus dipertahankan.

“Ini tradisi yang kami sudah lakukan turun temurun, kami harus pertahankan ini dan warisan kepada anak-anak muda kami, “ imbuhnya.

Mansorandak adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang sarat akan pesan moral. Karena itu prosesi adat seperti ini memang perlu dipertahankan agar tetap lestari dan tidak hilang tergilas oleh budaya maupun tradisi modern yang justru tidak mencerminkan budaya bangsa sendiri. [RadarPapua| KelilingBumi]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah