-->

Marinus Yaung : Pernyatan Perdana Menteri Vanuatu jadi Keberhasilan Diplomasi OPM di Luar Negeri

WAENA (KOTA JAYAPURA) - Seruan Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Moana Carcessess pada Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York USA pada 4 Maret 2014 lalu, yang meminta PBB  mengusut dugaan pelanggaran HAM di Papua, ikut menjadi perhatian serius Pengamat Sosial Politik dan Hukum Internasional Uncen Jayapura, Marinus Yaung.
 
Dosen Jurusun Hubungan Internasional FISIP Uncen Jayapura, ini, menandaskan, pernyataan PM Vanuatu di sidang PBB itu menujukkan sebuah Keberhasilan diplomasi Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Luar Negeri, yang memperjuangkan isu-isu pelanggaran HAM di Papua.
 
“Selama Pemerintah Indonesia tidak serius menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, maka isu HAM Papua akan terus dijadikan alat propaganda dan diplomasi pihak asing untuk merongrong kedaulatan Indonesia,” tegasnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Waena, Jumat, (07/03/2014).
 
Menurutnya, alasan paling kuat pidato PM Vanuatu karena rasa solidaritas sesama etnis Melanesia atau Melanesian Brotherhood Spirit.  Semangat persaudaraan Melanesia inilah yang menjadi motivasi utama PM Moana memperjuangkan isu HAM Papua di sidang HAM PBB dimaksud.

Yang harus diwaspadai Pemerintah Indonesia adalah siapa aktor negara kuat antara China atau Inggris atau Amerika Serikat di balik propaganda isu HAM Papua oleh PM Vanuatu. Tiga kekuatan besar di pasifik ini sering kali menggunakan tangan ketiga untuk memastikan bahwa kepentingan ekonomi dan politik mereka di Indonesia aman-aman saja. Pemerintah Indonesia juga perlu mewaspadai isi pidato kemarin, kalau sampai akhirnya PBB menerima permintaan PM Vanuatu dan PBB akhirnya mengakui akan kesalahan dekolonisasi di Papua Tahun 1969 dan meminta maaf kepada rakyat Papua akan kesalahannya tersebut, atau  dengan kata lain PBB sudah siap untuk menekan Indonesia agar segera mempersiapkan Referendum ulang di Papua.
 
Oleh karena itu, perlu ada protes diplomasi yang keras oleh Presiden SBY terhadap PM Vanuatu. Jangan takut untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Vanuatu. Kalau tidak ada sikap tegas dari Pemerintah Indonesia, dirinya khawatir masalah HAM Papua bisa masuk dalam agenda PBB Tahun ini.
 
Pidato ini juga telah membuat OPM sebagai kelompok separatis dalam subyek hukum internasional, sudah bisa dikategorikan kelompok separatis belligerensi yang perjuangannya untuk menentukan nasib sendiri, menentukan pemerintahannya sendiri, sistem politik dan ekonominya sendiri, serta untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri, berakibat kepada jatuhnya banyak korban jiwa dan memunculkan masalah kemanusian yang berdampak ke kawasan Pasifik Selatan, terutama di negara-negara etnis Melanesia.
 
Kalau OPM sudah sebagai subyek hukum internasional, tentunya OPM bisa mempunyai hak menggugat ulang hasil Pepera di Majelis Umum PBB dan juga bisa menggugat para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusian di Papua ke Mahkamah Peradilan Internasional di Den Haag, Belanda.

Dikatakan, pasca pidato PM Vanuatu ini membuat posisi Papua semakin menguat di Forum Internasional dan semakin mendapat simpati masyarakat internasional. Akan terbuka akses yang luas bagi masyarakat  Internasional untuk datang ke Papua guna mengecek kebenaran informasi yang sebenarnya. “Dengan demikian terbuka bagi Papua untuk digelar referendum,” tandasnya.
 
Tetapi lanjut Marinus, perkerjaan rumah besar bagi OPM adalah selesaikan dulu masalah faksi-faksi di internal organisasi. Dan sayap militer OPM yakni TPN segera hentikan teror dan penembakan ke sasaran-sasaran sipil.  Dan juga sayap militer baru yang mau dibentuk NRFPB dengan pimpinannya Fernando Worabay di Yapen, hentikan segera pembentukan sayap militer ini.

Pasalnya, masalah Papua tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan senjata. Jaga momentum baik pasca pidato PM Vanuatu ini.

Karena jika sekali sayap militer OPM maupun NRFPB menyerang sasaran sipil, maka momentum kemerdekaan Papua akan semakin jauh. Jaga dan awasi terus momentum terbaik di awal tahun ini. Sekalipun diplomasi Indonesia masih memiliki kartu-kartu truf untuk mengganjal isu Papua merdeka, tetap perjuangan untuk menegakkan keadilan hukum dan perdamaian di Papua harus diperjuangkan oleh OPM, NRFPB dan semua masyarakat Papua.

  “Pelanggaran HAM di Papua sudah tidak bisa ditutupi lagi dan tidak bisa juga diselesaikan dengan konsep Otsus plus. Pembunuhan sistematis dan kejahatan terhadap kemanusian harus dilesaikan melalui pendekatan hukum, bukan pendekatan pembangunan dan kesejahteraan,” bebernya.

  Baginya, tidak bisa Otsus plus dijadikan alat diplomasi untuk meyakinkan pihak asing bahwa pelanggaran HAM di Papua sudah selesai diatasi. Otsus Plus hanya yang proses kelahirannya melanggar HAM, keberadaannya hanya semakin menambah buramnya kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. Hanya dialog Papua-lah yang berpotensi mencegah Papua menuju referendum dan bisa menjadi pintu masuk penyelesaian seluruh pelanggaran HAM di papua [BintangPapua]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah