-->

PT. Freeport Indonesia Bantah Klaim Eltinus Omaleng

KOTA JAYAPURA – PT Freeport Indonesia (PTFI) membantah klaim Bupati Mimika, Eltinus Omaleng yang menyebutkan perusahaan itu tak pernah membayar hak ulayat masyarakat sejak mulai eksplorasi tahun 1967 sampai tahun 2015 yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah.

Eltinus Omaleng sebelumnya mengklaim bahwa penambangan emas yang dilakukan oleh PTFI di lima gunung emas di Mimika, Papua telah menyebabkan gunung-gunung tersebut habis. Selama 48 tahun menghabiskan isi gunung dan gunung itu sendiri, PTFI tidak pernah membayar ganti rugi sejumlah US$ 3,6 miliar atau hampir 500 triliun rupiah.

Namun klaim Bupati Omaleng ini dibantah oleh PTFI. Juru bicara PTFI, Riza Pratama dengan mengatakan masyarakat adat di Kabupaten Mimika telah mengijinkan penggunaan dan melepaskan hak ulayat mereka sejak PTFI mulai beroperasi, yang berarti sejak tahun 1967.

“PTFI telah memberikan ganti rugi dan terus melanjutkan program pengembangan masyarakat terhadap masyarakat adat,” kata Riza Pratama kepada Jubi pada Kamis (29/10) .

Meski tak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai bukti-bukti pelepasan hak ulayat masyarakat adat di wilayah Amungme dan Kamoro ini, Riza mengatakan  penyaluran dana pengembangan masyarakat PTFI kepada Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Amungme dan Kamoro adalah bagian dari program pengembangan masyarakat yang dilakukan untuk masyarakat adat di Mimika.

“Dana ini disalurkan dalam dua mekanisme, yaitu dana yang dikelola langsung oleh PTFI melalui Divisi Community Affairs dan dana yang dikelola secara kemitraan bersama Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK), dimana suku Amungme dan Kamoro adalah dua suku terdekat dengan wilayah operasi PTFI. LPMAK  terdiri dari perwakilan suku-suku asli, pemuka agama, tokoh Papua dan PTFI,” tambah Riza.

Namun dana-dana pengembangan masyarakat maupun dana royalti PTFI, menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua, bukan jawaban atas klaim ganti rugi hak ulayat masyarakat adat. PTFI memang yang telah memberi pemasukan bagi negara dan juga masyarakat setempat, tapi hak ulayat adalah kewajiban yang berbeda.

“Bukan berarti royalti diberikan ke masyarakat kemudian melupakan hak ulayat mereka. Itu (bayar hak ulayat) tetap kewajiban Freeport karena Freeport hadir di sana sudah sejak tahun 1967 hingga sekarang belum juga merealisasikan pembayaran itu,” kata Wonda. [Jubi]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah