-->

271 Bahasa Daerah Terancam Punah akibat Bahasa Indonesia

KOTA JAYAPURA– Kontruksi bahasa dominan yang berkuasa yang mengharuskan penggunaannya sangat mengancam bahasa-bahasa minoritas. Ini satu kenyataan di Papua. Bahasa-bahasa minoritas yang notebene bahasa daerah Papua mulai menduduki kelas dua dalam struktur komunikasi publik, sebagai warga Negara, bahkan pelan-pelan tidak digunakan, mulai hilang dari penuturan.

Kantor berita Antara, merilis, “Dua bahasa daerah di Papua, Saponi dan Mapia, adalah dua dari 14 bahasa daerah di Indonesia yang sudah kehilangan penutur alias punah,” meski belum menjelaskan persis proses penghilangan bahasa itu berjalan dan berawal dari mana.

Kandidat doktor Antropologi Universitas Indonesia, Handro Yonathan Lekitoo mengatakan malah lima bahasa daerah dari 276 bahasa daerah di Papua punah. Lima bahasa itu, bahasa Saponi di Waropen, Bahasa Dusner dan Tandia di teluk Wondama, Bahasa Fitjin Lha di Kiamana, dan Bahasa Nambla di Senggi (Keerom).

“Saya menulis dalam buku saya, ‘Potret Manusia Pohon” itu bukan dua bahasa yang punah tetapi lima bahasa. Ini berarti tinggal 271 suku bahasa dari suku-suku bangsa Papua,” kata handro Yonathan Lekitoo, kepada Jubi, Rabu (17/6), mengomentari pemberitaan tersebut, Selasa (16/6) tentang dua bahasa Papua, bahasa Saponi dan Mapia dari 14 Bahasa daerah di Indonesia yang punah.

Kata pengajar ilmu antropologi Universitas Cendrawasih (Uncen) ini, ke 271 bahasa-bahasa Papua yang tersisa pun terancam punah. Lanjutnya, bukan sekedar ancaman akibat tidak digunakan dalam komunikasi publik saja tetapi sebagian kosa atanya sudah tidak ada lagi dalam penuturan. Jumlah yang terancam punah itu mencapai angka 30-an bahasa daerah yang ada di Papua dari pesisir hingga pedalaman.

“Kita tidak perlu jauh-jauh. Masyarakat Kayu Batu dan Kayu Pulau di pinggiran kota Jayapura itu saja sudah tidak tahu angka dalam bahasa Mereka. Sementara, saya pelajari, dalam bahasa asli, mereka bisa hitung sampai angka 24 tetapi sekarang mereka hanya bisa sebut sampai angka 6,” katanya.

Lekitoo menuturkan ada sejumlah penyebab utama punahnya dan ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah di Papua. Perubahan itu datang melalui sistematisasi struktural pendudukan dan melalui perubahan relasi sosial masyarakat akibat proyek kontruksi sosial masyarakat yang dikehendaki.

Pertama, perkawinan campur. Orang-orang yang kawin beda daratan, suku, ras dan bahasa jarang, bahkan tidak pernah mengunakan bahasa daerah dalam komunikasi. Orang-orang yang kawin campur memilih bahasa alternatif atau bahasa yang diketahui kedua belah pihak. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan campur otomatis belajar bahasa alternatif itu.

Kedua, perbedaan bahasa. Pertemuan antar orang Papu dan non-Papua sebagai warga negara Indonesia dalam perbedaan bahasa. Orang-orang yang berbeda bahasa ini berusaha bersatu dalam komunikasi yang mewajibkan “Satu Bahasa Indonesia”. Satu bahasa dalam rangka membangun nasionalisme itu tanpa memperhitungkan kesatuan itu terbentuk dari keragaman budaya suku dan bangsa.

Ketiga, migrasi. Perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari satu pulau ke pulau lain atau antar daerah. Bahasa kaum mayoritas penduduk yang mendatanggi penduduk wilayah masyarakat tertentu mendominasi komunikasi. “Lihat wilayah trans di Papua. Orang Papua pintar bicara bahasa Jawa tetapi tidak tahu bahasa daerahnya,” kata Lekitoo mencontohkan salah satu daerah trans di Merauke.

Keempat, perkembangan teknologi. Teknologi komunikasi dan media pemberitaan yang online maupun cetak sudah mempunyai bahasa standard dan pilihan. Orang-orang Papua yang mengakses informasi dan komunikasi lewat teknologi berhadapa dengan bahasa pilihan dan mengabaikan bahasa mereka.
“Orang tidak melihat bahasa daerah sebagai indentitas yang membangakan. Orang cenderung mengunakan bahasa teknologi dalam berkomunikasi mengunakan alat teknologi. Sebaiknya, orang komunikasi lewat teknologi dengan bahasa daerah”.

Kalau orang sudah tidak merasa lagi bahasa sebagai identitas, dengan sendirinya, orang mulai meninggalkan bahasa mereka. Orang yang tidak menggunakan bahasa dalam komunikasi harian, secara tidak segaja, melupakan istilah-isitlah penting yang mengungkapkan eksistensi mereka. Orang menggantinya dengan bahasa dominan atau hilang sama sekali.

Contohnya, orang pegunungan Papua, wilayah Lapago menganti kata wa yang mengungkapkan ucapan syukur, kegembiraan, dengan kata “terima kasih”. Kata Kain (bahasa suku Yali-Huwula), Tonowi (Mepagoo) yang menunjukan orang hebat dengan kata “kepala suku”. Orang Mee mengganti kata Ugatame yang mengungkapkan relasi mereka dengan yang lebih tinggi dengan kata Tuhan.

Pergantian ucapan itu kurang lebih terjadi pergeseran makna. Roh yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan itu pun mulai berubah. Kata Wa yang mengandung makna lebih dari satu, menyatukan semua rasa syukur terkurung ke dalam kata “terima kasih”. Kata Kain terkurung ke dalam kepala suku, yang merujuk kepada pemimpin formal. Sementara dalam makna aslinya, kata Kain, merujuk kepada orang peduli terhadap sesamanya yang lebah dan tidak berdaya.

Kalau bahasa punah, perubahan makna bahasa terus berlangsung, orang Papua tidak mempunyai pilihan lain selain menerima fakta kepunhan. “Bahasa menunjukkan bangsa. Tidak ada bahasa berarti tidak ada bangsa bangsa Papua,” ungkap Lekitoo. Ancaman ini sangat serius yang sedang berlangsung dalam kehidupan orang Papua.

Karena itu, pemerintah daerah harus serius melihat punahnya bahasa sama dengan kepunahan suatu bangsa. UU otonomi khusus No.21 tahun 2001 harus menjadi hukum yang bisa membuat kebijakan untuk melindunggi orang Papua. Pemerintah harus membuat kurikulum yang mengajarkan bahasa daerah.

“Pemerintah tidak harus mewajibkan siswa mengunakan bahasa Indonesia. Kalau sekolah ada di Nafri, anak-anak harus belajar bahasa Nafri si sekolah. Sekolah di Yoka, anak-anak harus belajar dalam bahasa Yoka. Saya pikir ini satu tanggung jawab pemerintah yang harus pemerintah wujudkan,” harap Lekitoo kepada pemerintah yang mengendalikan kehidupan masyarakat Papua saat ini.

Harapan itu kemungkinan satu harapan yang belum pasti. Pemerintah belum mempunyai desain untuk memproteksi orang Papua. Majelis Rakyat Papua yang terbentuk dalam rangka memproteksi semua yang sedang beruban tidak pernah menunjukan keprihatinan. Mereka hanya mengurus kepentingan berkuasa.

Karena itu, perlu kesadaran dari orang asli Papua. Orang Papua yang kawin campur, berada ditengah mayoritas populasi harus menyadari pentingnya indentitas diri. Garis keturunan matriakal atau patriaki harus menentukan pilihan bahasa karena garis itu menentukan pengakuan identitas adat.

Anak Papua yang menganut relasi patriaki harus belajar bahasa, mengikuti jejak etnis Cina, India dan Yahudi di seluruh Dunia, di mana mereka ada tidak melupakan bahasa mereka. Atau membiarkan diri larut ke dalam arus globalisasi, berlomba-lomba belajar bahasa Indonesia, Inggris, Mandarin yang bertujuan menguasai.  [Jubi]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari  Papua Untuk Semua di Grup Telegram Papua Untuk Semua. Klik link https://t.me/PapuaCom kemudian join/bergabung. Pastikan Anda sudah menginstall aplikasi Telegram di ponsel.

Papua Untuk Semua - Jendela Anak Tanah